Title : Bangun Dong Lupus
link : Bangun Dong Lupus
Bangun Dong Lupus
1. Diary Boim
JANGAN heran, ya, Boim ternyata punya diary juga. Isinya tentang kisah perjalanan masa remaja Boim. Diary ini agak unik, sebab terbuat dari daun lontar. Tapi Boim sayang, setiap mau bobo, tak lupa Boim selalu mengisinya. Antara diary Boim dan Boim memang tak dapat dipisahkan. Ke mana-mana selalu berdua. Selalu akrab, seperti anak kembar. Maksudnya, wajah Boim pun mirip-mirip daun lontar.
Sebetulnya, Boim tak pernah mau bila diarynya sampai dibaca orang. Sebab dia takut, rahasia kegantengannya bakal terbongkar. Tapi demi kamu-kamu semua, yang sudah rela membeli buku ini, Boim merelakannya.
Simaklah isinya.
***
Malam hari. Sepi. Yang ada cuma suara angin dan bulan yang mengintip malu-malu di balik awan hitam. Katak dan jangkrik pun enggan bernyanyi. Ya, sebab Boim mau baca diary.
Biarlah. Biarlah Boim membacakan diarynya. Karena selama ini, dia selalu jadi kambing hitam anak-anak sekelas. Jadi..., beri dia deodoran yang setia setiap saat..., eh, kok jadi ngaco? Maksudnya, beri dia kesempatan berbicara. Sebebas-bebasnya.
Bicaralah, Im!
Teman-teman, nama saya Boim. Playboy duren tiga. Hari ini, saya mau membacakan diary saya. Sebetulnya, seperti sudah dijelaskan, saya merasa enggak enak. Sebab dengan begitu, berarti jurus-jurus kegantengan saya nanti bakal terbongkar.
Dalam diary ini, selain ada beberapa bagian yang disensor, karena memang nggak pantes dibaca anak-anak balita, juga memuat kisah pertama kali saya masuk SMA Merah Putih. Sebetulnya ini rahasia, tapi karena adanya desakan dari para penggemar, terutama dari para penumpang bis kota yang suka berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga.
Teman-teman, diary ini adalah diary turun-temurun. Dulunya punya nenek moyang saya, yang memuat tentang kisah cinta remaja zaman dulu. Kemudian dari nenek moyang, diwariskan ke kakek saya. Dari kakek ke bapak, dari bapak ke saya. Dan nantinya akan saya wariskan ke anak saya. Mudah-mudahan anak saya mau menerima diary dari bapaknya yang ganteng ini.
Kisah diary ini saya buka ketika saya baru masuk SMA Merah Putih. Pagi itu memang ramai sekali. Banyak orang pakai baju seragam. Rata-rata dari mereka lagi pada kebingungan mencari kelas barunya. Peraturan di sekolah baru ini memang begitu. Anak-anak diharuskan mencari kelasnya sendiri-sendiri.
Waktu itu, saya juga lagi kebingungan mencari kelas saya. Di dekat saya, berdiri seorang gadis manis yang sama kebingungannya seperti saya. Saya kemudian memperhatikan wajahnya dengan seksama. Eh, ternyata dia juga sejak tadi sudah memperhatikan saya. Saya pun nekat menegur, “Hai!”
“Eh, hai, juga!”
“Kamu anak baru, ya?”
“Iya.”
“Kamu lagi bingung mencari kelas kamu, ya?”
“Iya.”
“Boleh saya bantu?”
“Iya, boleh. Eh, emangnya kamu siapa sih?”
“Saya? Saya anak baru juga di sini. Saya juga lagi bingung mencari kelas saya.”
“Oto, kamu anak baru juga?”
“Emangnya kenapa?”
“Enggak. Saya kira kamu tukang pel sekolahan...”
Ya, ampun. Jadi dia itu ngeliatin saya bukan karena tertarik dan simpati. Tapi karena dikira tukang pel.
Yah, begitulah pengalaman buruk pertama kali saya menginjakkan kaki di SMA ini. Tapi lepas dari kejadian tersebut, ternyata saya memang digemari oleh teman-teman saya, terutama ceweknya.
Hari pertama saya di kelas, banyak yang berebut ingin duduk di sebelah saya. Karena memang bangku-bangku lain sudah penuh, hihihi... dan ketika pelajaran dimulai, mereka senantiasa memandangi wajah saya. Kalau sehari saja saya nggak masuk sekolah, mereka pasti resah. Ya, karena kata mereka, nggak ada lagi yang bisa dikata-katain. Sialan juga, ya?
Tapi pada dasarnya, di sekolah ini saya merasa bahagia. Anaknya baik-baik, enggak ada yang sakit. Makanya dibenci dokter. Di sini, saya juga banyak mendapat teman. Eh, tapi yang mau kenalan selalu mereka dulu. Seperti, ada anak yang rambutnya rada panjang. Yang selalu mengulum permen karet. Yang matanya bulat berkilat-kilat. Namanya...
“Halo, anak baru!”
Belum sempat ditanya, dianya udah negro duluan. Terpaksa saya menjawab dengan senyum manis, “Halo juga!”
“Eh, kenalan dong. Abis kamu keren sih!”
“Boleh aja!”
“Nama saya Lupus.”
“Saya Boim. Kenapa kamu tertarik mau kenalan sama saya?” ujar saya ge-er.
Anak itu tersenyum-senyum lucu. “Abis kamu lain dari yang lain sih!”
“Apanya yang lain?” saya jadi penasaran.
“Mukanya. Yang mana hidung, yang mana kuping. Abis hampir sama, hihihi.” Anak itu cekikikan geli. “Eh, jangan marah, ya? Anggap aja nggak becanda. Bo..., siapa nama kamu tadi? Botol, ya?”
“Boim”
“Iya, Boim. Eh, kita kenalan sama yang lain, yuk? Tuh, ada anak yang lagi bengong sendirian. Kita samperin, yuk?”
Saya dan Lupus pun nyamperin anak yang bengong tadi.
“Halo, kok bengong aja? Eh, kamu mau kenalan sama kita berdua nggak? Ditanggung halal deh!” sapa Lupus.
“Iya, dijamin seratus persen,” tambah saya.
Anak itu nggak langsung menjawab. Mikir dulu untung ruginya?”
“Boleh!”
Anak itu mengernyitkan dahi sebentar. “Ya, setelah saya timbang-timbang, saya mau deh kenalan sama kamu berdua. Saya Anto.”
“Saya Lupus.”
“Saya Boim.”
Anto langsung memandang heran ke arah saya, ketika saya menyebutkan nama saya. Ujarnya, “kamu lagi dimaper, ya? Kok masih pake topeng sih?”
“Siapa yang pake topeng?”
“Itu!” Anto menunjuk ke wajah saya.
“Hahahah..., makanya, Im. Kalo mau kenalan buka dulu topengnya.” Lupus terpingkal-pingkal.
***
Tapi biar kadang rada nyebelin, anak-anak di kelas saya sebetulnya menyenangkan semua. Bahkan lagi kelaparan pun mereka selalu kelihatan senang. Mungkin karena lapar bagi mereka sudah merupakan penderitaan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Jadi sudah biasa. Dan mereka selalu kelihatan kompak. Punya rasa kesetiakawanan yang tinggi. Nyontek satu, nyontek semua. Jelek satu, jelek semua. Bolos satu, bolos semua. Nggak naik satu, ih... sori ya—untuk yang satu ini nggak ada yang mau ikutan. Kata mereka, lebih baik Boim aja yang nggak naik, daripada nggak naik semua. Jadi, emang sulit kalo mau tau, siapa anak yang paling pinter di kelas saya. Wong kalo ulangan, semua mendadak jenius. Sepuluh menit, selesai.
Tapi anak-anaknya juga terkenal jujur. Kalo misalnya lagi ulangan terdengar suara kebetan buku, kasak-kusuk di pojokan atau suara-suara ajaib lainnya, dan guru yang di depan mulai berteriak marah, “Siapa yang nyontek, maju ke depan kelas!!!” maka tanpa di komando, semua anak maju ke muka kelas.
Kalau jam kosong, kelas pun bisa berubah menjadi kantin murah dan bau. Segala macam cemilan ringan, diimpor langsung dari kantin sekolah. Sementara sebagian cowoknya mengadakan pertunjukan. Airshow dengan membuat kapal-kapalan dari kertas. Berseliweran di ruang kelas.
Di kelas ini juga full sound effect. Suara seajaib apapun bisa didengar oleh siapa saja, kapan saja. Bahkan lagi pelajaran fisikanya Mr. Punk yang galak itu sekalipun. Dan rasanya, kelas ini yang paling punya sense of humor yang tinggi. Anak-anaknya hobi ngelawak semua, meski kalo ditanya cita-citanya pada mau jadi tukang sulap. Dan kalo sudah ada anak yang mulai ngelucu, anak-anak pun berteriak serentak, “Hampir lucuuu...”
“Ah, biar. Yang penting kan masih ada unsur lucunya,” jawab yang diledek.
O ya, kelas ini juga pernah menang di festival lawak antar sekolah, sebagai grup lawak yang paling tidak lucu. Tapi anak-anak bangga. Bagi mereka, alangkah lucunya ada pelawak yang tidak lucu.
Dalam diary ini ada juga kisah yang menceritakan tentang cinta saya dengan beberapa cewek yang nolak saya. Eh, sebelumnya jangan menuduh kalo saya ditolak karena gaga. Tidak. Saya ditolak oleh cewek-cewek karena mereka takut nggak sanggup berdampingan dengan saya yang ganteng dan ramah ini. Mereka takut. Bisa makan ati, kata mereka. Kata mereka lagi, lebih baik cari cowok yang biasa-biasa aja, nggak usah yang ganteng-ganteng amat kayak si Boim. Salah satu cewek yang nolak saya adalah Nyit-nyit. Wah, saya sampe frustrasi berat. Makan tempe serasa sandwich jadinya.
Dan dalam diary ini juga tertulis tentang keakraban saya dengan Lupus, Gusur, Aji, dan Anto. Saya sering nginep di rumahnya Lupus. Sama keluarga lups, saking akrabnya, saya sudah dianggap... pembantu. Dan ke mana-mana, saya, Lupus, Gusur, dan Anto selalu bareng-bareng. Baik dalam suka dan duka. Kata Lupus, “Kebahagian kamu, Im, juga kebahagiaan saya. Penderitaan kamu, juga kebahagiaan saya.”
Eh, iya. Di sini saya mau cerita tentang pengalaman saya waktu naik bis kemarin siang.
Gini, ceritanya waktu itu saya lagi berada di dalam bis kota yang sesak sepulang sekolah. Di bis, orang sudah serasa sarden. Ada yang berdiri, bergelantungan di tiang. Saya pun turut berdiri.
Di sebelah saya, ada seonggok gadis manis yang juga bergelantungan. Dia merasa kerepotan sekali ketika ditagih ongkosnya oleh kondektur. Tangan yang satu asyik bergelantungan di tiang, sedang satunya lagi mendekap tasnya. Kalo dia melepas tangannya dari pegangannya, dia akan jatuh, tapi bagaimana dia bisa membayar ongkosnya?
Saya sebagai seorang pemuda yang baik hati, merasa tergerak untuk memberi pertolongan. Lagi pula cewek itu manis. Rugi dong kalo nggak ditolong. Saya pun menawarkan asa,
“Eh, kak. Bagaimana kalo tiang gelantungannya itu saya pegangi dulu, biar kakak leluasa mengambil uang di tas?”
Cewek itu bukannya senang, malah melotot sewot.
Lho, apa salah saya?
***
Yah, teman-teman. Karena saya udah bosen, maka diarynya sementara ditutup di sini dulu, ya? Kalo mau tau banyak tentang kita-kita, baca aja terus kisah lanjutannya...
2. From Tetangga with Love
Boim kesal. Dia selalu bangun lebih telat dari ayam jagonya. Padahal dari dulu Boim sudah memendam dendam. Ingin bangun lebih pagi dan berkokok keras-keras mengagetkan si ayam jago. Soalnya selama ini selalu aja ayam jagonya bangun duluan dan berkokok sekuat tenaga di bawah jendela Boim. Hingga Boim kaget setengah mati. Untung aja nggak jantungan. Kalo jantungan, mungkin Boim udah koit dari dulu.
Bagusnya tu ayam dipotong aja. Dibikin sop. Tapi Boim nggak enak sama Lupus. Ayam itu kan pemberian Lupus waktu Boim ulang tahun beberapa minggu yang lalu. (Enggak usah nanyain tanggal yang tepat Boim ulang tahun deh. percuma. Sebab toh jarang dirayai. Nggak ada istimewanya). Dan Lupus kalo ke rumah Boim suka nanyain ayam pemberiannya, “Si Abdul Choir masih idup?”
Ya, Lupus memang suka keterlaluan. Menamakan ayam jagonya Abdul Choir. Padahal satu temen sekolah Lupus ada yang berjudul Abdul Choir. Hihihi...
Tapi lepas dari ayam jagonya, si Boim belakangan ini sebetulnya lagi hepi. Apa pasal? Itu, di belakang rumahnya, rumah yang dulu kosong, kini dihuni orang baru. Keluarga baru dengan anak gadisnya yang manis. Boim melihatnya ketika dia lagi asyik manjat pohon jambu belakang rumah. Matanya langsung kedap-kedip menatap gadis manis yang bersenandung pelan sambil menyiram bunga. Pegangannya pada batang pohon jambu mengendur, dan... gubrak! Boim terjerembab di atas rumput-rumput. Tapi apalah artinya rasa sakit sedikit dibanding rezeki yang baru didapatnya. Bayangkan, bertetangga dengan seorang gadis manis. Siapa yang nggak senang? Mimpi pun Boim nggak berani.
Ya, mungkin saja bagi kamu itu nggak terlalu istimewa. Tapi bagi Boim? Playboy cap duren tiga itu? Wah, merupakan nikmat yang tiada tara. Yang tak terbeli dengan duit gocap sekalipun.
Cuma, ketika Boim langsung berkaca di kamarnya, dia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Kamu pasti belum tau, ya? Gini, setelah diselidiki oleh Boim sendiri, ternyata jam-jam ganteng Boim itu biasanya muncul pas jam 12 mitnait. Di luar jam-jam itu, ups, sori. Wajahnya kurang sedap dilihat, walaupun pernah juga menang juara satu waktu ikut festival mirip kandang bebek. Hihihi...
Jadi kan susah. Mana ada cewek yang bisa dikecengin di tengah malam buta begitu? Makanya, jarang ada yang tau kalo sebetulnya Boim itu ganteng.
***
Sejak punya tetangga cakep, Boim jarang ke rumah Lupus lagi. Jarang ngecengin adiknya Lupus yang cakep lagi. Hobinya saban sore manjatin pohon jambu belakang. Mengintai, barangkali tu cewek nyiram kembang lagi. Sampai abah si Boim curiga, “Lo ngapain, Im, manjatin pohon jambu melulu? Pan buahnya udah pada abis? Lo mau ngintip orang mandi, ya?”
Boim Cuma nyengir. Percuma berangin ke abah yang nggak berjiwa muda lagi.
Tapi gadis itu nggak pernah kelihatan.
Boim segera nyari akal. Gimana ya caranya agar bisa kenalan sama cewek itu?
“Pap. Papi udah kenalan sama tetangga baru di belakang rumah? Kenalan, yuk? Kirim-kirim makanan kek. Kan kita harus rukun, Pap, sama tetangga...”
Si abah pada dasarnya emang rada risi dipanggil ‘Papi” sama Boim, mendelik sewot, “Lho, kenapa mesti kita yang harus repot-repot. Pan mereka, sebagai tetangga baru yang harusnya duluan kemari? Pake kirim makanan lagi! Lo bisa makan seari tiga kali aja udah untung banget tuh. Sana nimba aer!”
Boim langsung ngiyem.
Tapi pucuk dicinta ulam tiba. Sore besoknya ketika rumah lagi kosong, dan Boim lagi ngopi sendirian di teras, datang gadis itu sambil membawa baki berselimutkan serbet besar. Boim terbelalak tak percaya.
“Permisi, Bang. Yang punya rumah ada?”
Sejenak Boim terpana. Baru saja dia lagi ngelamunin cewek ini, tau-tau orangnya muncul...
“Permisi, Bang,” ulang gadis itu lembut. “Yang punya rumah ada?”
Boim tersadar. Langsung menyambar, “Eee oa eo, kembalikan Baliku padaku. Eh, maksudku, akulah yang punya Bali... eh, yang punya rumah ini.”
Gadis itu ngikik kegelian.
Boim cengar-cengir senang.
“Gini, Bang. Saya mau ngirim makanan buat yang punya rumah. Disertai salam perkenalan dari keluarga kami yang baru pindah ke sini. Bapak-ibunya ke mana?”
“O, Papi-mami lagi kondangan di rumah mentri...”
“O ya? Kalo gitu nitip aja, ya?” gadis itu menyerahkan bakinya pada Boim. Lalu hendak berbalik pulang.
“Eh, kok buru-buru. Nggak ngupi-ngupi dulu?” tahan Boim cepat.
“Lain kali aja deh. Saya harus nganterin makanan ke tetangga lainnya sih.”
Boim Cuma manggut-manggut.
Gadis itu melangkah ke luar halaman.
“Eh, baki dan serbetnya gimana?” ujar Boim lagi.
“Bawa aja sekalian nanti kalo mau main-main ke rumah,” sahut gadis itu sambil tersenyum manis.
Main-main ke rumah? Tawaran yang simpatik sekali. Boim langsung sejingkrakan girang. Plak-timplak-timplak-timplung!
Lho, tapi, siapa nama cewek itu?
***
Besok sorenya, Boim langsung muncul di rumah gadis itu.
Kebetulan, gadis itu sendiri yang membukakan pintu, dan langsung tersenyum manis bikin jantung Boim nyut-nyutan. Mereka ngobrol ngalor-ngidul. Cerita tentang Abdul Choir, tentang pohon jambu, dan macem-macem. Gadis itu ternyata bernama Mia. Dan di rumah Mia kebetulan lagi ada ibunya doang. Yang lain pada pergi.
Boim dapat suguhan ketan.
“Kalo musik dang-dut Bang Boim suka?” kata Mia di sela percakapan.
“O, enggak, Dik Mia. Bang Boim kurang sehati dengan musik murahan macam gitu. Kalo jazz, bolehlah. Atau paling tidak bossas. Tipe-tipe... siapa tuh yang orangnya rada-rada keren?”
“Mansyur S?” tebak Mia.
“Ya. Mansyur S.” Boim menjawab mantap.
Kemudian mereka mengobrol lagi, makin lama makin akrab. Nggak percuma Boim jadi playboy. Bsa langsung menarik simpati para gadis.
“Eh, Bang Boim, ketannya dicobain dong. Saya mau ke belakang dulu, ya?”
“Oh, iya. Silahkan.”
Boim ditinggal bersama ketan-ketan yang terhidang di meja. Boim jadi tergiur ingin mencicipi. Tapi, ah, kalo enggak cuci tangan dulu, nanti suka lengket. Boim pun cari-cari wastafel untuk cuci tangan. Nah, itu. Di dekat dapur ada. Boim pun langsung menuju ke sana dan mencuci tangan di sana. Tepat saat ibunya Mia muncul dari dapur.
“Lho, Nak. Kok udahan makan ketannya? Udah kenyang?”
Boim cuma bengong. Terpaksa Boim tak berani menyentuk ketan itu secuil pun ketika ibu Mia menemani mengobrol.
***
Boim lagi asyik nyabutin jenggot di teras, ketika Lupus muncul dengan sepeda balapnya. “Oi, Boim. Kamu dicariin Gusur tuh. Mau diajaki bonga-bonga. Hahaha.”
Boim mendelik sewot.
“Ke mana aja, Im, nggak pernah muncul? Lagi dipingit ya, buat dikawini?”
Boim cuma tersenyum sombong. Langsung Lupus diceritai tentang tetangga belakang rumah. Tentunya dengan bumbu-bumbu penyedap. “Pokoknya jalan sudah mulus, Pus. Orang tuanya setujua, tetangga merestui, cuma pembantunya yang kurang simpatik. Makanya saya cukup betah angkring di atas pohon jambu kalo Cuma mau ngecengin cewek kece.”
Tak berapa lama dari kejauhan nampak Mia berjalan ke arah rumah Boim. Hati Boim langsung dag-dig-dug. Buru-buru Lupus diungsikan ke kamar. “Bahaya, Pus. Kamu mendekam di kamar saya dulu deh, Pus. Buruan!” paksa Boim sambil menyeret-nyeret Lupus.
“Ada apa sih?” Lupus berusaha berontak.
“Tolong deh, Pus. Kamu ngedekem di kamar saya dulu. Ini demi kebaikan kamu juga. Ayo. Ayo.” Boim tetap menyeret-nyeret Lupus yang menjerit-jerit ribut. Lalu dengan paksa dimasukkan ke dalam kamar Boim, dan dikunci dari luar. Klek. Beres.
Boim pun berjalan tenang ke luar. Menemui Mia. Dia emang sengaja ngumpetin Lupus, karena Boim takut, jangan-jangan Mia malah naksir Lupus. Soalnya pernah kejadian begitu.
“Halo, Mia, abis jalan-jalan?” sapa Boim ramah.
Mia yang berjalan memasuki pekarangan rumah Boim tersenyum, “Iya. Nyari temen ngobrok, belum pada kenal. Mengganggu nggak, Bang?”
“O, tidak. Tidak,” ujar Boim semangat. “Ayo, duduk.”
Mereka pun asyik ngobrol ngalor-ngidul. Sementara Lupus dikunci di kamar, memaki-maki nggak keruan. Kasur Boim diacak-acak, dipakai buat main lompat-lompatan sampai kapuknya bertebaran.
Bosan main kasur, Lupus mulai mengobrak-abrik kaset. Nyari lagu yang enak buat disetel. Tapi dasar Boim, kasetnya dang-dutan semua. Terpaksalah Lupus memilih kaset favorit Boim : Sepiring Berdua, dan disetel keras-keras.
Alunan dang-dut yang memekakkan telinga mengagetkan Boim lagi asyik ngobrol sama Mia.
“Lho, suka dang-dut, ya?” tanya Mia sambil menahan senyum.
“Enggak! Aduh, siapa tuh yang norak banget!” maki Boim sambil beranjak lari ke dalam. Menggedor-gedor pintu kamar sekuat tenaga.
“Pus, Pus. Kecili dong!”
Lupus pura-pura nggak dengar.
“Lupus! Kecilin dong!”
Tetap tak ada sahutan. Malahan musiknya makin terdengar nyaring.
Terpaksa Boim membuka kamar yang dia kunci dari luar. Tepat pada saat pintu berderit terbuka, Lupus menyerbu berlari keluar sambil berhaha-hihi. Boim kaget, dan cuma bisa melongo waktu Lupus berlarian ke teras. Terpaksa dia yang mematikan lagu dang-dutnya.
Di teras, ketika Lupus melihat Mia, barulah dia tau kenapa Boim tega ngunciin Lupus di kamar. Tapi Lupus cukup tau diri. Dia hanya tersenyum yang dibalas manis oleh Mia, lalu berjalan kalem menuju sepeda balapnya yang terparkir di halaman.
Boim yang penasaran pengena ngejitak Lupus, tak sempat lagi menangkap bayangannya yang segera menghilang di balik rimbunan pohon seberang jalan. Diam-diam Boim menarik napas lega, karena Lupus segera pulang.
“Eh, itu tadi siapa?” tanya Mia ketika Boim muncul. “Temen kamu, ya?”
“Itu si Lupus jelek’”
“Lupus? Yang wartawan Hai itu? Wah, Mia pengen kenal. Kenalin dong...”
“Hus! Jangan. Dia orangnya norak. Nanti kamu ketularan. Dengar saja tadi, hobinya nyetel dang-dut keras-keras,” jawab Boim cepat.
“Saya juga suka dang-dut kok...,” jawab Mia sambil memandang kosong ke depan, tempat Lupus tadi menghilang. “Hebat juga tu anak. Biar tongkrongannya kaya gitu, masih suka musik dang-dut. Musik yang Mia sukai. Jarang lho ada cowok sekarang yang suka dang-dut. Kita kadang memang sulit menghargai musik kita sendiri...”
“Kalo gitu selera kita sama, Mia...,” ujar Boim pelan.
***
Boim terharu. Pagi itu dia menerima jawaban atas ajakannya nonton kemarin sore. Surat itu diberikan pembantu Mia ketika Boim mau berangkat sekolah : ‘Bang Boim yang kece...bur got. Setelah diteliti, ternyata Mia emang nggak punya acara nanti sore. Jadi kita bisa nonton. Jemput ya jam setengah tujuh. Salam manis, Mia.’
Boim menangis seseggrukan. Tak percaya pada apa yang dia baca. Maka, siang itu merupakan hari yang paling panjang, yang paling menggelisahkan sekaligus paling menyenangkan dalam hidupnya.
***
Senja hari, Boim sudah bersiap ke rumah Mia. Dengan atribut yang secara serabutan dia pinjem dari temannya. Kemeja dari Aji, jaket dari Lupus, sepatu dari Anto, celana panjang dari Gitu, dan Gusur tidak ketinggalan pula menyumbang celana dalamnya. Komplit sudah.
Tapi itu semua sia-sia. Beberapa menit setelah itu, Boim kembali balik ke rumahnya dengan muka yang teramat kusut.
Semua wanita adalah penipu! Teriak batih Boim. Boim mulai percaya sama penyair Khalil Gibran yang pernah ngomong kalo para cewek itu mungkin bersembunyi di balik senyum sebagai cadarnya. Bagaimana tidak? Sudah jelas Mia janji bisa pergi dengannya sore ini. Tapi kenapa waktu Boim hampir sampai ke rumahnya, Mia nampak sedang memasuki mobil seorang cowok dan pergi meninggalkannya?
Boim frustrasi lagi.
Pada saat yang sama, Mia juga sedang kesal mondar-mandir di teras rumahnya. Dandanannya sudah rapi jali. Lia, saudara kembarnya, baru saja pergi dengan mobil cowoknya. Dia mau nonton juga. Tapi, ke mana bang Boim-ku yang jelek? Kenapa belum datang juga? pikir Mia. Tadinya kalo bang Boim datang agak awal, mereka bisa nebeng mobil pacarnya Lia sampai bioskop. Tapi Boim kelamaan, jadinya Lia berangkat duluan.
Kini, sampai jam delapan, Boim belum juga muncul.
Diam-diam Mia menangis di kamar. Kenapa perjalanan cintanya nggak bisa semulus Lia, saudara kembarnya? Padahal mereka berdua punya wajah yang hampir tidak ada bedanya. Lia begitu mudah gonta-ganti cowok keren. Sedang Mia, bahkan untuk mendapatkan perjaka butut macam Boim pun tak bisa sukses.
***
Sampat jam empat dinihari, Boim tetap tak bisa memejamkan matanya. Hatinya begitu hancur lebur jadi debu. Sepanjang malam dia sudah meristiqarah meminta keadilan pada Tuhan yang dianggapnya nggak adil. Masa playboy nggak pernah sukses pacaran.
Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Langsung bangkit dari tempat tidurnya dengan semangat ’45 dan menuju ke kandang ayam. Tempat Abdul Choir tidur nyenyak. Lalu dengan sekuat tenaga dia berkoko, sampai si Abdul Choir terpekik kaget.
Boim puas, dendamnya terbalas sudah....
3. Lulu Belum Pulang
PADAHAL sudah lewat magrib. Tapi Lulu belum pulang juga. Si Mami jelas kebingungan berat, seperti induk ayam kehilangan bulu. Biasanya paling telat, jam setengah enam, sudah muncul batang hidung si Lulu. Dengan bersiul-siul dang-dut atau ribut nyari duit gocapan buat nambah bayar becak.
“Emangnya Lulu bawa sendok ya, Bu. Kok dicariin?” ujar Lupus.
Lupus langsung kena jitak.
Hihihi..., terus terang aja. Lupus emangsuka keki sama adiknya yang satu ini. Soalnya si mami begitu kebingungan kalo Lulu pulang telat sedikit. Tapi giliran Lupus, wah nggak pulang seminggu juga nggak dicariin. Makanya, kalo kamu agak teliti, kamu pasti bisa menemukan bahwa Lupus ke mana-mana selalu bawa sendok. Alasannya? “Biar dicariin!”
Pernah kok suatu hari si mami ribut-ribut banget ngitungin sendoknya yang ilang satu biji. Sampai Lulu menegur, “Sendok ilang satu biji aja dicariin. Tapi kalo Lupus, anak sendiri, nggak pernah dicariin.”
“Ah... Lupus kan kalo lapar juga pulang sendiri. Tapi kalo sendok, mana bisa?” ujar si mami sambil terus mencari sendoknya.
Lulu Cuma cekikikan, ngebayangin gimana kekinya Lupus kalo denger ucapan si mami.
Tapi kini Lulu yang ilang. Dan si mami lagi ribut-ribut nyariin.
“Coba kamu susul ke sekolahnya, Pus. Siapa tau dia masih di sana. Soalnya kalo mau ke mana-mana, Lulu pasti bilang. “Lupus yang lagi asyik nonton tipi, menjawab malas, “Nggak mungkin Lulu ada di sekolah, Bu. Mungkin di ke Kebun Binatang.”
Si Mami jadi terkejut, dan memandang tajam ke arah Lupus.
“Ngapain dia di Kebun Binatang malam-malam begini? Apa dia memang bilang ke kamu mau ke Kebun Binatang, Pus?”
Lupus jadi kaget sendiri. “Eh, itu kan Cuma misal, Bu. Syukur-syukur kalo bener.”
“Keterlaluan! Apa kamu senang kalo adikmu ternyata benar ke Kebun Binatang malam-malam begini?” hardik si mami sewot.
“Maksud saya—kan jadi gampang nyarinya, kalo dia sudah ketauan memang jalan-jalanjalan ke Kebun Binatang. Gitu, lho.”
Si mami ngamuk-ngamuk lagi.
Yah, emang susah deh. Dan Lupus sudah menyangka, pasti dia yang kena getahnya disuruh keliling dunia nyari di mana Lulu berada. Uh, emang nggak capek. Coba saja, kalo Lupus yang belum pulang, mana mungkin Lulu disuruh capek-capek mencari? Bener-bener nggak adil. Lulu memang selalu beruntung. Selalu mendapat yang terbaik. Harusnya kan malam-malam begini lebih enak nonton tipi sambil ngemil tahu goreng bikinan bibik. Atau beli siomai yang mangkal di tikungan jalan. Daripada nyariin si centil Lulu yang nggak ketauan juntrungannya. Tu anak mungkin lagi enak-enakan sama teman-temannya, sementara di rumah orang-orang pada kebingungan.
“Cari ke mana, bu? Kan nanti juga pulang..., kalo inget...”
“Tapi ini sudah hampir jam setengah delapan. Coba kamu cari ke rumah Suli, atau siapa saja yang kamu tau,” ujar si mami gelisah sambil sesekali menyibakkan gorden, mengintip ke luar jendela. Siapa tau Lulu datang.
Di luar memang sudah gelap.
Dan dengan menggerutu panjang pendek, Lupus mengeluarkan sepeda balapnya dari garasi. Dalam hatinya Cuma satu tekat, menjitak keras-keras kepala Lulu kalo ketemu nanti. Tu anak bikin susah aja. Kalo kepergiannya nggak bikin Lupus sibuk begini sih, terserah. Tapi ini...?
Si mami juga terlalu cemas sih. Padahal namanya anak muda, wajar sih kalo sekali-sekali punya acara mendadak. Siapa tau ketika Lulu hendak pulang, ketemu cowok bermobil dan diajak jalan-jalan... eh gila! Yang beginian sih jelas nggak sehat! Lupus cemas sendiri. Soalnya Lulu itu, biar udah kelas satu esema, jiwa nekatnya masih gede banget. Pusar kepalanya aja ada dua. Pertanda anak yang nakal. Dan bagaimana kalo ternyata Lulu benar mau diajak oom-oom bermobil mewah keliling kota? Atau malah ke Puncak? Hiiii..., mudah-mudahan enggak! Lupus jadi mengerti, kenapa si mami jadi begitu cemas. Soalnya punya anak gadis memang paling repot ngejagainnya. Meleng dikit, kesambet. Dan kejadian oom-oom yang suka bawa anak gadis itu bukan kejadian bohong. Lupus sering geliat, si Fifi diuber-uber oom-oom. Untung aja si Fifi tabah. Hanya oom yang ber-BMW aja yang diterima.
Tanpa terasa, sepeda balap Lupus sampai ke rumah Suli. Kebetulan tu anak lagi jajan bakso di depan rumah.
“Heran, kamu selalu datang kalo saya lagi jajan bakso,” ujar Suli.
Lupus ketawa, dan langsung memesan semangkuk.
Kemudian menyusul Suli duduk di dipan teras rumah. Kakinya diangkat, didekapkan ke dada biar terasa agak hangat. Malam ini memang dingin. Suli duluan melahap baksonya. Sesekali mulutnya mengap-mengap kepanasan. Buset, ni anak nggak sabaran betul kalo makan? Lupus pun membantu Suli mengipas-ngipas baksonya pake kertas yang ditemukan di dipan. “ Biar cepet dingin,” ujar Lupus.
“Hei, itu kartu Valentin saya!!!” teriak Suli sambil merebut kertas yang dipegang Lupus. Buset, hari Valentin udah kapan tau, masih disimpan juga kartunya. Pasti dari pacarnya...
“Dari siapa sih, Sul?”
Suli Cuma menjulurkan lidah. Lupus sempat membaca sebagian isinya :’... kasih sayang menjadikan setiap hari adalah hari yang terindah bagimu...’ Doyo..., romantis amat?
“Kamu kenal Boim, Sul?”
“Temen kamu yang katanya pernah menang lomba mirip sandal jepit itu?”
Lupus tertawa, hahaha... “Iya.”
“Emangnya kenapa?”
“Waktu Valentin kemarin, dia dapat kartu Valentin paling banyak!”
“Ah, masa? Emang dia ganteng, ya? Kenalin dong, Pus.”
“Buka. Soalnya bapaknya emang tukang pos hahaha...”
Suli merengut.
Lupus mengambil mangkuk bakso yang disodorkan si abang. “Sausnya banyak, Bang?”
Lalu keduanya asyik melahap bakso hangatnya. Dingin-dingin begini memang paling enak makan bakso hangat.
Beberapa saat kemudian, Suli beranjak pergi hendak mengambil minum.
“Minum apa, Pus?”
“Nggak usah repot-repot. Es kelapa aja...”
Suli memaki-maki. Emangnya restoran?
Beberapa saat kemudian, Suli muncul lagi dengan sebotol air dingin di tangan. “Ngomong-ngomong Lulu ke mana, Pus? Kok nggak diajak?”
Lupus langsung tersentak. Astaga, dia kan lagi disuruh nyari Lulu. Kok malah enak-enakan di sini? Lupus langsung bertanya sama Suli, apa Suli liat Lulu sepulang sekolah sore tadi?
“Lho, kok malah tanya saya? Saya nggak tau, Pus. Tadi nggak barengan pulangnya. Lulu ngabur pas jam terakhir...”
Gila. Lupus buru-buru pamit. Lalu menyambar sepedanya yang terparkir dekat tukang bakso. Langsung menghilang di balik tikungan jalan.
Beberapa saat, entah kenapa, Lupus muncul lagi. Terengah-engah sambil berhenti di dekat Suli yang memesan semangkuk lagi. “Ada yang ketinggalan?”
“Enggak, Sul. Cuma mau tanya. Kartu Valentin saya apa sudah sampai?”
“Kartu yang mana? Belum kok. Emangnya kamu ngirim?”
“Enggak. Emang harus ngirim?”
“Lho?”
Lupus pun berlalu sambil tergelak-gelak.
***
Gawat. Ternyata Lulu memang gawat. Sampai jam sembilan malam, tu anak belum nongol juga. padahal Lupus sudah nyari ke mana-mana, tapi nggak ketemu juga. si mami uring-uringan, nggak bisa tenang. Sebentar-sebentar mengintip ke jendela, atau maksain Lupus agar terus mencari Lulu sampai ketemu. Terpaksalah Lupus yang aturan sudah nyenyak bobo di tempat tidur, kini berngantuk-ngantuk-ria nyari si Lulu ke rumah teman-temannya. Tapi nggak ketemu juga. sial, tu anak bikin susah aja. Beberapa kali sepeda balap Lupus hampir nyebur ke got, lantaran kantuk yang tak tertahankan.
“Lupuuuus..., Lupuuuus...,” tiba-tiba ada suara merdu memanggil dari sebuah mobil pick-up.
Lupus menoleh. Eh, siapa tuh, ada anak manis memanggil-manggil.
“Sebentar, Pus.” Cewek itu turun dari mobilnya dan menghampiri Lupus. Buset, manis juga.
“Kamu Lupus, kan? Kamu lagi nyariin Lulu, ya?” gadis itu langsung berceloteh.
“Kok tau?”
“Kalo saya bisa menemukan di mana Lulu, hadiahnya apa?” ujarnya lincah.
“He—kamu temannya Lulu, ya? Di mana Lulu?” Lupus jadi napsu. Dia melompat turun. Dan Lulu pun nongol dari mobil gadis tadi. Langsung ketakutan ngeliat Lupus melotot ke arahnya. “Weniii..., toloooong!” Lulu buru-buru berlindung di balik badan temannya.
Gadis itu bersikap seolah melindungi Lulu. “Tunggu, Pus. Jangan ngamuk-ngamuk dulu. Dengerin. Tadi pulang sekolah Lulu ke rumah saya. Janjian mau liat-liat koleksi boneka saya. Tapi berhubung rumah saya jauh, di dekat Bogor, kita-kita pulangnya jadi rada telat. Maklumlah, keasyikan main. Tadinya Lulu disuruh nginep aja sama mama, tapi katanya Lulu belum bilang. Dan sekarang kamu lewat, Pus. Tolongin dong Lulu. Kasian...”
“Iya, Pus. Tolongin rayuin Ibu, Pus,” ujar Lulu ikut-ikutan, “Saya ngeri nih!”
Lupus cuma bisa menghela napas. Lalu menarik tangan Lulu agar sedikit menjauh dari situ. Lulu sudah ketakutan saja ketika Lupus berbisik pelan, “Gila. Temen kamu cakep juga, tuh. Siapa namanya? Weni, ya? Kalo mau ke rumahnya ajak-ajak dong. Apalagi kalo mau nginep segala...”
Lulu bengong.
***
Malam ini Lulu lagi sedih. Dia dihukum si mami ngegantiin tugas bibik mencuci rantang yang seabrek-abrek bekas katering tadi siang.
“Itu hukuman untuk anak yang suka bikin orang tua susah. Pergi-pergi tanpa izin!!” ujar mami.
Lulu cuma bisa nurut. Dan sampai malam, dia ngejogrok sendirian di dapur, mencuci rantang. Mulutnya sibuk memaki-maki dirinya sendiri yang mendapat sial.
Tak lama, Lupus muncul dengan segelas susu. “Minum biar tambah kuat nyucinya.”
Lulu tak menggubris.
Lupus kasihan. Dia membantu sedikit-sedikit melap rantang ya yang sudah dibilas.
“Kadang saya iri sama kamu, Pus,” ujar Lulu sambil tetap mencuci rantang. “Kamu enak. Bebas mau pergi-pergi, mau nginep-nginep, tanpa harus repot-repot izin dulu. Kamu begitu bebas. Nggak pernah dicariin ibu. Kalo saya? Ngilang sebentar aja, udah dicariin. Emangnya saya sendok?”
Lupus cekikikan.
“Ah, manusia memang aneh. Serba nggak puas. Dicariin salah, nggak dicariin juga salah. Saya justru suka ngiri sama kamu, Lu. Kamu begitu diperhatiin. Apa kamu pikir saya nggak sedih, nggak pernah dicariin? Tapi memang, kita perlu merasa nggak puas. Soalnya kalo kita cepet puas, hidup ngak ada seninya lagi. Nggak ada tantangan. Hihihi...”
Lulu ikut-ikutan ketawa.
“Kalo gitu, kapan-kapan kita pergi sama-sama aja, Pus. Kan jadi enak. Kamu jadi dicariin, karena menculik saya pergi. Hihihi...”
Keduanya pun menggangguk-angguk setuju.
Tanpa terasa, rantang yang dicuci sudah bersih semua.
4. Keriting Everywhere
DI BULAN puasa menjelang jam tujuh, Lulu selalu ribut-ribut nyari mukenanya. Dia emang rajin tarawih. Puasanya juga pol sampe beduk magrib. Beda sama Lupus. Lupus kalo soal tarawih emang kurang. Tapi puasanya dong..., batal melulu... hihihi.
Dan Lupus emang paling males kalo diajaki tarawih. Katanya, dia suka ketiduran di mesjid. Abis pas buka, Lupus sering makan kelewat banyak. Walhasil bawaannya ngantuk melulu.
“Pus, kamu liat mukena saya?” teriak Lulu dari kamarnya.
Lupus yang lagi asyik menyantap kolak pisang, menyahut cuek, “Mukena kek mau kagak kek, emang gue pikirin?”
Lulu sewot. Dia langsung aja berniat ngerjain si Lupus lagi kayak kemarin. Yaitu dengan menyelipkan beberapa ekor semut mungil yang manis-manis ke dalam kolak pisang si Lupus. Lupus kan paling hobi makan kolak pisang. Kalo buka puasa yang paling dulu dia makan pasti kolak pisang. Sedang Lulu sering dapat tugas dari si mami untuk membuatkan kolak pisang buat Lupus.
Nah, ini dia. Lulu berhasil menemukan mukenanya di tumpukan kain si mami. Aduuuh..., tapi di mana ya semut-semut kecil yang biasa muncul? Seperti juga Lupus, Lulu memang selalu yakin bahwa di kamarnya pasti banyak semut. Soalnya semut kan suka sama sesuatu yang manis-manis. Sedang Lulu selalu merasa dirinya manis. Tapi, ah—persetan dengan semut-semut. Tarawih sudah hampir mulai nih!
Lulu pun buru-buru mengambil sarung dan melilitkan selendangnya di kepala. Tak lupa dia membawa sandal jepit kesayangannya.
“Tarawih di mana, Lu?” sapa Lupus sambil lalu ketika Lulu melewati ruang tengah. Lupus di situ lagi asyik makan kolak sambil nonton tipi. Acara favoritnya selama bulan puasa ini nggak lain dan nggak bukan adalah acara azan magrib. Tiap sore dia tunggu-tunggu terus.
“Tarawih di mana, Lu? Ditanya kok cuek?” ulang Lupus.
“Di mesjid dekat lapangan bola,” ujar Lulu kalem.
“Lapangan bola? Lapangan bola yang mana?”
“Lapangan bola yang dekat mesjid.”
***
Lupus sering tak habis pikir melihat Lulu adiknya itu. Padahal di dekat rumah Lupus, juga ada mesjid yang lumayan gede. Tapi Lulu selalu sembahyang di mesjid dekat lapangan. Ketika ditanya alasannya, Lulu bilang, “Kalo mau sembahyang berjamaah, makin jauh mesjidnya, makin besar pahalanya. Kan setiap langkah kita menuju mesjid, selalu di beri pahala.”
Yah, itu emang bener. Tapi ya belon tentu juga. Yang penting dari semua itu kan niatnya. Niatnya mau ngapain. Kalo si Lulu jelas-jelas patut dicurigai. Dia itu punya niat yang nggak beres. Di mesjid dekat lapangan bola, anak cowoknya memang keren-keren. Soalnya anak-anak real estate sebrang kali, sering bersembahyang di situ. Nah, Lulu sering sengaja tarawih di situ sama teman-temannya sekalian ngeceng-ngeceng. “Yeah, sambil menyelam minum green-spot!” ujar Lulu cengar-cengir.
Mesjid itu praktis jadi ajang perkecengan.
Dan malam itu, seusai tarawih, Lulu lagi asyik membenahi perangkat sembahyang bersama Ritma. Sengaja dilama-lamain, supaya yang lainnya udah pada pulang. Jadi bisa puas ngeceng-ngeceng.
“Halo, cewek!” tiba-tiba dari balik kain pembatas, menyembul wajah seorang cowok keren. “Nungguin kita, ya?”
Lulu terkejut. Karena kebetulan dia memang pas duduk di dekat kain pembatas.
“Ssst..., itu Edwin, Lu. Yang suka nanyain kamu!” bisik Ritma.
“O ya?”
Tapi wajah Edwin sudah menghilang lagi. Ritma buru-buru mengajak Lulu mengemasi mukenanya, “Cepat, Lu. Keburu dia pulang. Dia anak real-estate.”
Beberapa saat kemudian, mereka berdua pun berada di antara rombongan orang-orang yang pulang tarawih. Tak lupa celingukan mencari si Edwin yang kece tadi. Di mana ya, tu anak? Katanya mau ngegodain. Kok malah ngumpet.
***
Tiap sore di kamar Lupus selalu ada kesibukan baru. Ada suara kocokan gitar dan teriakan nyaring mirip-mirip bebek di situ. Suara siapa lagi kalo bukan suara Lupus yang lagi belajar bikin lagu? Di sekolah memang mau ada acara perpisahan anak kelas tiga. Nah, si Lupus itu dapat tugas bikin satu tema lagu buat operet kelas. Tak ayal, Lupus yang baru bisa main gitar tiga jurus itu, senen-kemis mencipta lagu. Bolak-balik ngerekam nada-nada yang ia dapat ke dalam pita kaset.
Sebetulnya dalam mencipta lagu itu, bukan sepenuhnya Lupus sendiri yang kerja. Lupus dibantu tetangga-tetangganya kanan kiri. Para tetangga itu sebetulnya bukan karena iklas membatu. Tapi karena merasa terganggu kalau tiap sore harus mendengar jeritan si Lupus. Jadi daripada harus berlama-lama menderita mendingan berkorban dikit membantu Lupus. Ada yang nyumbang lirik lagu atau hanya sekedar doa secukupnya. Yang ngisi vokal juga rame-rame. Jadi gara-gara itu lagu, satu erte ikutan sibuk terlibat. Dan setelah jadi, Lupus pun memaksa setiap orang mendengarkan lagu ciptanya sambil bertanya, “Bagus nggak? Bagus nggak?”
Ternyata dari sepuluh orang yang dihubungi, sebelas di antaranya menyatakan, ”Tidak! Tidak!”
Keterlaluan, ya?
Tapi ada satu makhluk yang tidak ikut sibuk terlibat. Nggak lain dan nggak bukan adalah Lulu sendiri. Tu anak belakangan ini malah lagi sibuk ngeliatin model-model rambut. Semua majalah dibuka-buka. Dipelajari. Model apa yang kira-kira lagi in?
Anak itu kalo lagi jatuh cinta memang gawat. Ada-ada aja tingkahnya. Dan sekarang, dia lagi naksir si Edwin, cowok kece yang sering dijumpai waktu tarawih. Yah, meskipun ketemu hanya sekelibat aja, tapi Lulu suka. Malah kemarin malam sempat janjian ketemu lagi di depan kedai es krim sebrang lapangan bola. Kedai yang biasanya dikunjungi anak-anak sepulang tarawih. Di sana ada kolak, cincau, kelapa muda, es krim dan makanan ringan lainnya.
Janjiannya masih lama. Masih sekitar dua harian lagi. Karena selama dua hari ini, Edwin mau nganter maminya dulu ke Bandung. Jadi buat Lulu, masih ada waktu dua hari lagi untuk persiapan. Duile, mau ketemu aja pake persiapan!
Setelah Lulu selidiki, ternyata yang sekarang lagi in adalah model rambut keriting. Di mana-mana sekarang memang serba keriting. Teman-teman Lupus, si Boim sampai Fifi Alone rambutnya keriting. Ayam tetangga pun ada yang keriting. Semua yang serba keriting, lagi jadi mode dan didemenin. Contohnya, kerupuk yang dijual di warung gado-gado. Semua keriting. Atau supermi yang sering dibeli si mami. Ikut-ikutan keriting. Kaset lagu pun kalau dijemur suka keriting.
Makanya, setelah mantap. Lulu pun berduyun-duyun ikut gadis-gadis lain untuk dikeriting. Lumayan buat persiapan jumpa sama si Edwin. Dan sehari sebelum perjanjian mereka bertemu di kedai es, Lulu sudah siap dengan rambutnya yang ajaib. Keriting total.
Gimana komentar Lupus ketika pertama kali ketemu Lulu yang baru pulang dari salon?
Dia terbengong-bengong dan berkata, “Aduh, Lulu, kesentrum di mana kamu? Saya turut berduka cita atas musibah yang menimpamu.”
Lulu langsung ngamuk-ngamuk sambil ngucel-ngucel rambut Lupus sampai keriting juga. Lupus jadi sebel setengah mati setelah berkaca dan ngeliat rambutnya jadi ajaib begitu. Dia langsung keramas agar rambutnya bisa lurus lagi.
Tapi sebaliknya, temen-temen sekolah Lulu langsung pada muji-muji penampilannya, “Idiiiih..., kamu jadi kayak koper girl deh. Kayak gadis penjual koper...hihihi.”
***
Jam tujuh lewat dikit, Lulu mendadak masuk rumah dengan terburu-buru. Mukanya kusut. Menandakan ada yang tidak beres. Sarung dan mukenanya dilempar begitu saja ke atas kursi panjang. Lalu dia duduk terhenyak di sofa pojok ruangan. Bersungut-sungut dia di situ.
Melihat wajah yang kusut, yang tak kalah kusut dengan keriting di rambutnya Lupus yang semula lagi asyik-asyik duduk nonton tipi, jadi tersenyum geli. Lho, tapi ini kan baru jam tujuh lewat. Kok tumben Lulu udah balik dari tarawihnya? Biasanya paling cepet jam setengah sepuluh baru nongol.
“Nggak tarawih, Lu?”
Lulu menatap Lupus, lalu menjawab malas, “Tarawih dipulangkan. Imamnya nggak masuk.”
Lupus ngikik. Ada-ada aja!
“Ada yang nggak beres, Lu?”
Lulu diam. Asyik mengigit-gigit ujung keritingnya.
“Halo? Kok diam?”
Lulu memicingkan matanya.
“Coba tebak, Lu. Kotak, kecil, ada dipojokkan. Apakah itu?”
Lulu membuka matanya.
“Nggak tau?”
Lulu menggeleng.
“Papan catur lagi ngambek.”
Lulu tertawa. Hahahaha. Langsung menerjang Lupus dan mengucel-ngucel rambutnya lagi. Lupus menjerit-jerit ribut.
Lalu Lulu langsung cerita tentang kesedihannya. Si Edwin yang udah janji mau traktir di kedai es krim, ternyata tak mengenalinya ketika bertemu Lulu saat berangkat tarawih. Sama sekali tak mengenali. Yah, bagaimana tu cowok bisa ngenalin, kalau tiba-tiba rambut Lulu jadi keriting begitu? Lulu yang maksudnya mau bikin surprise, malah tak dikenali sama sekali.
Baru ketika Ritma muncul, dan meyakinkan Edwin bahwa benar gadis yang berambut keriting itu si Lulu, kontan Edwin nge-shock. Soalnya doi nggak doyan kalo rambut Lulu digituin. Doi lebih suka yang alami, yang natural.
Lulu jadi nyesel berat dikeriting.
“Kadang orang memang lebih suka apa adanya, Lu. Sesuatu yang dibuat-buat, yang kita pikir bakal lebih mempercantik diri kita, malah kadang menjatuhkan. Maka, jadilah apa adanya diri kamu. Cintailah apa yang telah ada pada diri kamu. Karena yang telah ada pada diri kamulah yang dicintai Edwin,” begitu nasihat Ritma, temannya. Lulu menunduk sedih.
“Namanya juga orang usaha...,” ujar Lulu sedih.
Sedang Lupus hanya berkomentar, “Wah, tu cowok emang sama sekali nggak berjiwa humor. Nggak tau bahwa jarang-jarang ada cewek punya rambut ajaib kayak kamu. Hihihi...”
Esok malamnya, Lulu mulai bersiap-siap lagi. Sementara Lupus dari tadi sibuk nyari kolak pisangnya yang kelupaan dimakan
“Tarawih lagi, Lu?” tanya si mami.
“Enggak. Libur dulu. Lulu mau ngelurusin rambut dulu ke salon,” ujar Lulu enteng.
“Apa?” Lupus jadi tersentak. “Jangan, Lu! Aduh, jangan dilurusi rambutnya! Kita-kita sama temen udah pada sepakat untuk mengajak kamu ikutan di operet sekolah. Jadi peran adiknya si Boim yang keriting juga. soalnya di sekolah nggak ada anak yang keriting!”
“Jadi adiknya Boim? NGGAK MAU!!!”
“Yaaa... mau dong! Tolonglah, Lu!”
Lulu langsung ngabur keluar. Enak aja jadi adiknya Boim!
Tapi pas sampai di jalan, dia seperti teringat sesuatu. Dan langsung buru-buru balik. Setengah berlari dia. Tapi terlambat, sampai rumah Lupus kedapatan lagi panik meludah-ludah di got belakang.
“Lulu!! Kamu ngemasukin semut-semut itu lagi ya ke dalam kolak??” hardik Lupus.
Lulu tak bisa menahan ketawanya. “Hahaha..., baru mau dibilangin, ternyata telat... hahaha.”
Lulu langsung dikejar-kejar ke jalanan. Hahaha, hahaha!
5. Hari Ini Libur
MINGGU pagi awal libur yang panjang, nampak seorang anak sedang menunggu di pinggir jalan. Tampangnya jelek sekali. Soalnya lagi suntuk nunggu seseorang. Anak itu teman kamu juga. namanya Lupus. Ada tergeletak pasrah sebuah ransel mungil di sisi tempat dia berdiri. Ransel yang berisi sesuatu yang nggak boleh kamu lihat. Ya..., tebak aja sendiri. Terus terang, saya nggak berani ngoprek-ngoprek isinya. Soalnya si Lulu aja waktu nekat mau tau apa isi ransel Lupus, kena sambil sandal jepit. Ih, sadis.
Tapi menurut Lupus, teman-temannya lebih sadis lagi. Bayangin aja, mereka udah janjian mau jemput Lupus dipinggir jalan jam enam pagi. Tapi sampai lewat jam tujuh, makhluk-makhluk sialan itu belum muncul juga. padahal dari subuh-subuh Lupus udah bangun. Udah bela-belain mandi basah, biar ngantuknya ilang. Tapi sampai sekarang? Si Lupus gayanya udah kayak liften aja. Tiap ada mobil lewat diamati. Disumpah-sumpahi.
Beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di ujung gang, dari tadi secara gantian sibuk nawarin Lupus untuk naik aja ke ojeknya. Tapi Lupus nolak. Soalnya tu ojek kan khusus angkutan ke jalan-jalan kecil. Khusus untuk balik lagi ke rumah.
Tiba-tiba sebuah minibis nampak di kejauhan. Berwarna merah norak. Nah, itu dia, yang ditunggu-tunggu datang. Lupus pun bersiap-siap mengemasi bawaannya. Pasti nggak salah lagi nih, pikirnya. Uh—lama amat. Nggak tau, ya, udah capek-capek dandan dari subuh...
Tapi belum selesai Lupus menumpahkan makiannya, itu mobil sudah lewat dengan cueknya di depan hidung Lupus. Lho? Sialan—ternyata bukan. Dengan kesal, Lupus pun membanting ranselnya.
“Udah deh, Tong. Pulang aja lagi. Yang ditunggu nggak bakal datang. Ayo abang anterin,” rayu tukang ojek itu lagi.
“Enggak usah, ya!” cibir Lupus.
Lupus pun menanti lagi. Iseng-iseng dia mengunyah permen karet. Sumpah, dia sekarang nggak berani lagi nempelin bekas permen karet di tempat duduk orang. Soalnya sebelum libur ini, Lupus sempat disidang sama guru-guru, karena ada seorang guru Bahasa Indonesia yang roknya kena noda lengket bekas permen karet ketika duduk. Siapa lagi anak SMA Merah Putih yang doyan permen karet kecuali Lupus? Makannya Lupus yang disidang. Dan namanya menghadapi guru, Lupus jelas nggak bisa menang argumentasi. Dia kena ancam skors. Untuk besoknya libur, jadi sama aja bo’ong.
“Aduh, padahal guru itu yang salah!” ungkap Lupus kesal ketika keluar dari ruang sidang. “Udah tau bangku ada permen karetnya, kenapa didudukin? Makanya jadi orang tuh harus hati-hati!”
Tapi toh, Lupus rada-rada kapok juga.
“Apa lebih baik ditempeli di meja aja, biar nggak bisa diduduki orang?”
Lupus menimbang-nimbang sambil terus mengunyah. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sialan! Ke mana nih anak-anak? Saking sebelnya, Lupus berniat balik aja lagi ke rumahnya. Dia mengemasi bawaannya dan menuju tukang ojek yang selalu always stand by di ujung gang. Tapi tukang ojeknya pura-pura nggak tau ketika Lupus mendekati. Pura-pura sibuk ngilik kuping.
“Bang—anterin ke rumah!”
Tukang ojek itu memandang Lupus dengan ekor matanya.
“Ih, sori, ya. Tadi ditawari nggak mau. Emangnya situ aja yang bisa jual mahal?”
Lupus gondok. Dia pun beranjak pergi.
Tapi ngapain balik lagi ke rumah? Malu-maluin aja. Bukannya tadi dia udah pamitan sama si mami, si Lulu, sama tetangga kanan kiri, juga sama ayam-ayamnya tersayang? Apa kata mereka nanti? Lho, kok pikniknya udahan? Kok nggak bawa oleh-oleh? Kapan tadi udah pamit ke setiap orang?
Dijejali pikiran macam gitu, Lupus pun pantang menyerah. Dia segera menyetop bis menuju rumah Boim.
***
Di rumah Boim sepi. Yang empunya rumah masih cuek. Masih bersarung ria dengan secangkir kopi di ruang tengah. Sambil dengerin radio lagu-lagu dang-dut pilihan.
Lupus mengetok-ngetok pintu.
“Assalamualaikum! Assalamualaikum! Tok-tok-tok!”
“Aduh maap..., nggak ada orangnya...,” terdengar sahutan dari dalam.
“Lho yang ngomong itu siapa? Apa bukan orang?”
“Ya, orang dong. Kamu siapa sih, kok agresip amat?”
“Saya Lupus.”
“Oto..., Lupus. Silakan pulang aja deh.”
“Sialan!” Lupus langsung membuka pintu. Di situ ada pembantu Boim lagi beberes.
“Maaf, Den. Bibik kira tukang minta-minta. Habis, biar lebaran udah lewat, tukang minta-minta masih banyak. Dikit-dikit ketok pintu. Kan capek.”
Lupus Cuma nyengir.
“Si Boim ke mana, Bik?”
“Boim?” Bibik itu mikir. “Katanya sih lagi nggak ada. Mau ngapain sih nyari Boim?”
“Ya..., mau ketemu aja. Sekalian lebaran. Saya kan belum sempet lebaran sama dia.”
“Oto... kata Boim kalau ada tamu yang mau minta maaf, suruh ambil aja di bufet... hihihi.”
Lupus mendongkol.
Pas Boim nongol. Masih bersarungan sambil cengar-cengir kuda. Lupus langsung menumpahkan kekesalannya,
“Gimana sih, lo. Nggak tau ya saya udah nunggguin dari pagi di pinggir jalan? Katanya mau nyamper jam enam. Terus, mana lagi si Gusur, Anto, Aji, Gito... Pada kompakan ya mau ngerjain saya?”
“Bukan gitu, Pus.”
“Remaja sekarang udah nggak bisa menghargai janji. Payah. Kayaknya sekarang ini begitu enteng janji diucapkan. Begitu enteng janji dilanggar. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri... lho—kok jadi teks lagu dang-dut?
“Pokoknya, saya marah berat. Anak-anak udah pada gokil semua. Betapa banyak janji yang nggak ditepati sekarang ini. Apa janji emang udah nggak ada harganya lagi? Apa kamu nggak pernah mikir kalo orang yang udah dijanjiin, yang menunggu di pinggir jalan, sangat gelisah?”
“Alaaah, lo juga suka ngaret, kan, Pus?”
“Iya, tapi kan itu mendingan daripada nggak datang. Mending telat daripada nggak sama sekali...”
Tetap aja, Pus. Ngaret juga versi lain dari mengingkari janji.”
Lupus memberengut.
“Masalahnya gini, Pus. Saya lagi cekak. Nggak punya duit buat piknik pada liburan kali ini. Si Anto sama Gusur juga begitu. Jadi kemarin, waktu pulang sekolah, kita sepakat nggak jadi pergi aja.”
“Tapi kok nggak bilang-bilang saya?”
“Kamu kan lagi disidang di ruang guru!” Boim menggulung-gulung sarungnya. “Udah sekarang kita ke Anto aja. Siapa tau dia punya ide lain?”
Boim pun buru-buru ke kamar mandi. Saat itu si Gusur muncul. Dari jauh tu anak udah cengengesan.
“Hooo1, rekan-rekan. Daku lagi bahagia sekali hari ini. Bahagiaaaa... sekali...”
“Ada apa, Sur? Dapet porkas?”
“Tidak, Pus. Di bis tadi daku kecopetan.”
Boim yang sudah siap mau nyemplung ke bak, jadi urung. Bela-belain keluar sambil berhandukan.
“Kecopetan? Kok malah girang?” tanya Boim penasaran.
“Mengapa tidak. Dompet yang dicopet itu berisi bon-bon utangku pada tukang bakso, siomai, rujak. Dan di situ ada perjanjian, barang siapa yang menemukan bon-bon ini, wajib melunasinya. Hahahaha...”
***
Setelah semua beres, mereka bertiga pun ke rumah Anto. Anto yang sebetulnya punya tugas bawa mobil pada piknik kali ini. Tapi kenapa tadi pagi nggak ngejemput Lupus dulu? Paling tidak, ngebilangin kek kalo perginya nggak jadi.
Tiba di rumah Anto, suasana lebih lengang lagi. Lupus, Gusur, dan Boim berdiri di depan pagar. Ih, pada ke mana sih? Kok sepi?
“Hoooooiii..., antoooo..., keluar kau! Rumahmu sudah kami kepuuuung!” teriak Lupus kumat gokilnya.
Gusur cuma kekikikan.
“Iya, Tooo..., ini kami bertiga dataaaaang...,” tambah Boim. “Kami dari regu A. Di sebelah kanan saya Lupus, sedang di sebelah kiri saya karung beras...”
Gusur yang tadinya bercita-cita mau cekikikan lagi, jadi cemberut.
Tapi yang muncul ternyata bokapnya Anto. Yang terheran-heran geliat anak-anak gokil itu. Anak-anak jelas jadi tersipu-sipu malu.
“Nyari Anto, ya? Langsung aja ke belakang. Dia lagi ngebenerin mobil tuh!”
Lupus, Boim, Gusur pun berduyun-duyun ke belakang.
Ketika ditemui, tu anak lagi sibuk berat dengan mobil bututnya. Tangan dan mukannya belepotan oli.
“Wah—sori, Pus. Mungkin saya nggak jadi pergi. Abis mobil saya ngadat lagi. Nggak tau tuh, apanya yang rusak. Tadi pagi disarter nggak mau idup-idup. Kamu bisa betulin nggak, Pus?”
Lupus berlagak memeriksa mobil Anto dengan seksama.
“Oooooh, ini, To. Mungkin karena letak kaca spionnya yang nggak bener...”
Anto bengong. Idih, apa hubungannya?
***
Pagi itu, di awal liburan, terpaksa mereka nggak jadi piknik. Cuma ngumpul-ngumpul aja di rumah Anto sembari makan kue sisa lebaran.
Suntuk juga sih.
“Jadi liburan ini kita ngapain dong!” ujar Lupus.
“Saya sebetulnya ada ide, Pus. Itu kalo kalian setuju. Tiap libur, biasanya kan kita cuma ngabis-ngabisin uang. Piknik ke sana-sini. Emang sih buat refreshing. Tapi gimana kalo kali ini kita isi dengan nyari uang aja? Dengan kerja. Itung-itung KKN. Kasak-Kusuk Ngobyek. Soalnya kalo dari kecil kita nggak dilatih bekerja, kita nggak biasa. Remaja di barat aja sering mengisi liburannya dengan cari uang. Dengan kerja di restoran, jadi tukang cuci piring. Makanya pas udah gede mereka udah terbiasa kerja...,” usul Anto.
“Alaah, kamu kan baca sendiri, To, di majalah. Situasi di sini beda. Mana ada restoran sini yang mau nerima pekerja part-time macam kita-kita yang nggak pengalaman?” bantah Boim.
“Justru itu. Kita harus menyesuaikan dengan kondisi di sini. Kalo kamu mau, kita ada kerjaan yang sip. Yang sekaligus bermanfaat buat kita-kita semua. Terutama buat kamu, Pus.
“Kok saya?” Lupus bengong.
“Begini. Pada libur panjang ini kepala sekolah kita berniat mengecat ulang sekolahan kita yang mulai dekil itu. Nah, kemarin secara iseng saya tawarkan, gimana kalo kita-kita aja yang mengecat, Pak? Beliau setuju-setuju aja, asal kita kerjanya bener. Nah, ini kan berguna buat kamu, Pus. Kamu yang paling sering ngotorin kelas dengan permen karetmu. Iitung-itung sekalian nebus dosa. Kalo kalian setuju, sore ini saya hubungi kepala sekolah, besok pagi sudah mulai kerja. Gimana? Lumayan lho, buat nambah uang saku?”
Yah, rasanya itu memang usul yang baik. Anak-anak langsung setuju.
***
Besoknya pagi-pagi sekali, Lupus dibangunkan maminya.
“Pus, katanya mau dibangunkan pagi-pagi? Katanya mau kerja?”
Lupus menggeliat-geliat malas. Uh—baru jam berapa sih?
“Bangunlah, Pus. Kamu kan udah janji sama teman-teman kamu?”
Lupus malah menarik selimut tebalnya. Ah, liburan memang paling asyik diisi dengan tidur...hihihi
6. Bangun Dong, Lupus!
TOK-TOK-TOK
Pintu kamar lupus diketok dari luar.
Uh, siapa sih yang nggak tau diri amat? Mengetuk-ngetuk kamar orang di pagi buta begini?
Tok-tok-tok, “Pus..., Pus. Bangun dong!”
“Lupus masih tidur!” ujar suara yang di dalam.
“Lho – kok bisa ngomong?”
“Oh, itu kebiasaan dari kecil. Lupus emang suka mengigau begitu, kok.”
“Masuk aja. Ngak dikunci kok. Nanti kalo udah, keluar lagi, ya? Jangan lupa menutup pintu.”
Boim masuk. Tersenyum geli melihat Lupus yang masih asyik bersembunyi di balik selimut tebal. Ya, pagi ini udara memang dingin sekali. Hujan semalaman membuat pagi ini begitu dingin. Begitu enak buat tidur. Tapi tak boleh begitu. Pagi, tak boleh diisi dengan tidur. Pagi adalah saat kita bangun. Membuka mata dengan wajah cerah, dan bergegas menuju tempat tugas. Meski mata terasa berat, meski selimut mendekap erat. Sekali dalam hidup, kata penulis besar Pramoedya, orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan pernah menjadi apa-apa.
Sesekali waktu, kita memang harus berani menentang situasi yang memanjakan kita. Agar kita tak terlelap.
Pagi hari, adalah saat yang tepat untuk mengerjakan sesuatu. Saat udara masih segar, saat pikiran masih bersih, saat segala persoalan larut dalam tidur semalam.
Maka, bangunlah, Pus.
Boim membuka jendela. Membiarkan udara sejuk merasuk. Membiarkan bau tanah basah tercium, mendengarkan cicit burung yang berkejaran.
“Pus, bangun. Temen-temen menunggu di luar. Katanya mau kerja? Katanya mau mengecat sekolah?”
“Ya..., ya. Saya bangun,” ujar Lupus sambil beranjak berdiri. Kedua tangannya direntangkan ke depan. Matanya masih tetap tertutup. Dengan gaya orang mendusin, dia berjalan pelan-pelan ke kamar mandi.
Sampai di kamar mandi, gokilnya kumat lagi. Dia berteriak nyaring, “Lulu! Kamu abis ngebom nggak disiram ya!!!”
Lulu yang lagi ngumpul di depan sama teman-temannya, jadi tengsin berat.
Sialan! Bukan saya. Itu kerjaan si Boim!!”
Boim bengong. Lho, kok saya lagi yang kena?
***
Boim memang selalu jadi kambing hitam. Bukan karena Boim mirip kambing. Ih, jangan menghina, ya? Mana ada kambing yang hitam seperti Boim? Tapi si Boim ini memang selalu kebagian sialnya. Entah kenapa, mungkin memang ada orang yang ditakdirkan sial seumur-umur. Tapi kini, di pagi ini, Boim toh telah berbuat sesuatu yang mulia. Mengajak Lupus bangun, meninggalkan tidur di pagi hari. Mencoba menentang dunia yang meninabobokan.
Dengan membawa cat, kuas, dan perkakas lainnya untuk mengecat sekolah, Boim, Gusur, Anto, Lupus, Meta, Ita, Fifi, dan... oh, ini dia yang bikin Boim semangat. Ternyata Nyit-nyit yang segede kunyit turut serta dalam barisan anak-anak menuju sekolah.
Hap-hap-hap-satu-dua-tiga! Dengan semangat empat lima, anak-anak manis itu berjalan menuju sekolah. Asyik bermain kereta-keretaan. Gusur yang jadi lokomotif. Sebab anatomi tubuhnya memang pas mirip lokomotif.
Sebetulnya, sekolah memang sedang libur. Tapi kep-sek sudah setuju atas usul Anto agar anak-anak aja yang mengecat ulang sekolah.
“Honornya mahal, nggak?” ujar kep-sek ketika ditemui.
“Biasanya berapa?” tanya anak-anak.
“Yaaah, kalo manggil tukang, paling upahnya empat ribu per orang satu harinya.”
“Ya udah, kalo sama kita-kita delapan ribu aja deh!”
“Lho, kok malah lebih mahal?”
Tapi walau ternyata anak-anak yang kerja lebih banyak, dan itu berarti biayanya lebih besar, kep-sek akhirnya setuju. Memang di sini bukan dilihat dari untung ruginya, tapi kep-sek terkesan sama niat mulia anak-anak. Yaitu belajar bekerja. Di saat anak-anak yang lain asyik berlibur, mereka malah bekerja.
“Mereka memang pantas diberi imbalan,” ujar kep-sek di depan rapat sidang guru.
***
Mengecat SMA Merah Putih ternyata nggak begitu sulit. Tak sesulit mengecat rambut keritingnya si Boim menjadi pink. Karena memang Cuma butuh dua warna. Atas merah, bawah putih. Makanya dinamakan SMA Merah Putih. Seragam para siswa di situ, tadinya juga mau ber-merah-putih-ria. Tapi karena siswa-siswanya pada protes lantaran sering dikira anak SD, maka ditukar, bajunya merah, sedang bawahannya putih. Itu juga diprotes keras sama si Boim. Karena kulitnya yang ngujubileh itemnya nggak begitu canggih dipakein baju merah. Doesn’t fit each other. Walhasil sang kep-sek nyerah, seragam diganti putih abu-abu aja.
O ya, pengecatan sekolah dimulai dari ruang kep-sek. Dua jam pertama, ditandai oleh peristiwa Gusur yang sekujur tubuhnya kebanjur cat. Ini gara-gara dia sibuk melirik-lirik Fifi Alone yang pake celana pendek. Nggak sadar kalo ternyata Gusur menabrak tangga yang dinaikin Lupus buat mengecat. Walhasil, ember yang dipegang Lupus jatuh, pas nyungsep di kepala Gusur.
Boim yang lagi sibuk mengerik-ngerik tembok untuk membersihkan sisa kotoran dan sisa cat yang mulai luntur, tertawa terpingkal-pingkal.
Kesalahan memang bukan pada lirikan mata si Gusur. Tetapi pada si Fifi Alone yang pakai celana pendek model turis Bali, dengan kaos model you can see my ketiak.
Jam-jam berikutnya ditandai dengan datangnya ibu bahasa Indonesia didampingi Kepala Sekolah yang hendak melihat-lihat hasil kerja anak-anak. Untung saat itu segalanya sudah nampak agak beres. Paling tidak, tak ada yang kebanjur cat lagi. Kantor kepsek sudah nyaris rapi jali. Bersih mengkilat. Sampai sang kepsek pangling sendiri, ini kantornya atau bengkel motor si Boim? Hihihi...
Tapi enggak ding. Kantornya kini memang bener-bener bersih. Jendela-jendela kaca sudah bersih mengkilap dari percikan cat. Boim yang biasanya disuruh mandi aja susah, kini mendadak rajin setengah mati. Meta dan Ita dari tadi cekikikan aja melihat perubahan sikap Boim. Anak-anak yang lain juga gitu. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Nyit-nyit yang manis itu? Boim pasti lagi nyari muka di depan Nyit-nyit. Biar dibilang rajin, ya? Biar si Nyit-nyit naksir, ya? Hihihi...
“Ih, sori, ya!” cibir Nyit-nyit.
Anak-anak memang bener-bener pada tega. Tak pernah memberi peluang Boim untuk menyerang. Tiap kali Boim merapat mendekat ke Nyit-nyit, anak-anak yang diam-diam mengintai, dengan norak berteriak-teriak menirukan suara kondektur bis, “Rapat belakang! Rapat belakang! Tarik!!!”
Tinggal Boim yang tersipu-sipu malu.
Tapi Nyit-nyit nggak mau tau. Dia selalu menghindar dari Boim. Boim jadi sedih. “Ah, sudahlah, Im. Anggaplah kegagalan itu sebagai bukan suatu kesuksesan,” nasihat Lupus.
Boim memberengut. Ih, bukannya nolong, malah geledek.
Sementara anak-anak lain, yang rata-rata pada belepotan cat, mendapat pujian dari kepsek.
“Istirahat dulu. Kita makan-makan di kantin sebelah,” ujar kepsek.
“Horeeee...,ditraktir, kan, Pak?” jerit anak-anak.
Bapak kepsek bengong. “Ih, jangan nuduh, dong!”
***
Menjelang petang, dua kelas sudah selesai digarap. Anak-anak mulai siap-siap pulang. Rata-rata sekujur tubuh mereka sudah tak berbentuk. Penuh dihiasi bercak-bercak cat. Fifi nyesel setengah mati, soalnya kaos oblongnya itu boleh beli dari Singapura. Sayang kalo sampai kena bercak-bercak cat begitu.
”Andai tak suka, berikan saja padaku kaosmu itu, Fi. Biarlah penuh noda. Akan kupajang di kamar sebagai kenang-kenangan,” ucap Gusur.
Fifi melotot. Lantas ike pulang pake apa? Apa dibiarkan tanpa busana?
Gusur langsung senyum-senyum nakal. Ih, otak kotornya nggak ilang-ilang.
Anak-anak pun berhaha-hihi. Sambil membereskan peralatan cat untuk digunakan besok. Semuanya disimpan rapi di gudang.
Sementara ibu bahasa Indonesia yang baik namun cerewet itu kembali meninjau kelas yang selesai digarap. Semua tampak bersih, seperti sebuah gedung baru. Ada kebanggaan tersendiri di hatinya. Bahwa anak-anak nakal itu bisa bersikap manis juga. bahwa kecerewetannya selama ini dalam mengajarkan tata tertib kebersihan, kesopanan, kerajinan, tak menjadi sia-sia.
Bahwa,... oh!
Begitulah seharusnya mendidik anak. Ajarkan kepada mereka bagaimana bekerja. Tumbuhkan rasa cinta bekerja pada mereka. Bangunkan mereka. Jangan sampai terlena oleh situasi yang sekarang serba melelapkan. Memanjakan.
Ibu itu terus tersenyum-senyum sendiri. Mengangguk-anggukkan kepala sambil berjalan berkeliling kelas. Ada rasa penat yang memaksanya untuk duduk di ujung meja belajar murid. Ya, sekedar melepas lelah. Tapi... oh! Apa ini yang lengket-lengket di roknya? Dengan cepat ibu itu bangkit, memeriksa rok barunya. Astagfirullah! Permen karet!
“Lupus!!!” hardik ibu guru itu keras.
Lupus yang kebetulan hendak pulang lewat depan pintu, tersentak kaget. Lebih kaget lagi ketika tau bahwa guru bahasa Indonesia itu kena permen karetnya lagi.
“Aduh, Ibu! Salah ibu sih! Kenapa duduk di meja? Meja kan bukan tempat duduk. Lain kali hati-hati dong, Bu...”
Ibu itu tambah melotot.
***
Lupus membanting pintu dengan kesal. Uh, hari yang melelahkan sekaligus menyebalkan! Gara-gara untuk kedua kalinya ibu bahasa Indonesia kena tempel permen karet. Lupus mendapat peringatan keras dari kepsek. Dilarang makan permen karet di lingkungan sekolah! Uh—padahal jelas-jelasan yang salah itu ibu gurunya. Udah tau meja gunanya untuk menulis, malah diduduki. Kan salah sendiri.
Lupus itu sebetulnya sudah insap. Sejak diperingatkan agar tidak boleh menempelkan sisa permen karet di bangku, dia betul-betul tak pernah melakukannya lagi. Tapi dia sama sekali tak mengerti, kenapa sekarang kena tegor lagi.
“Pus, ada apa? Kok kusut banget tampangmu?” tegur Lulu.
Lupus tak menanggapi. Dia seenaknya membuka-buka tudung saji, nyari makanan. Perutnya lapar berat. “Ibu ke mana sih, Lu? Kok nggak ada makanan apa-apa?”
“Ibu pergi dari pagi. Saya yang masak. Itu ada spaghetti bikinan saya khusus buat kamu di lemari makan.”
“Spaghetti?” Lupus langsung bergegas membuka lemari. Mencari spaghetti. Ih, ternyata Cuma supermi. Dengan dongkol, diambilnya juga supermi bikinan Lulu. Abis lapar. Lulu Cuma cekikikan di sofa sambil baca Lucky Luke.
Beberapa saat kemudian, dia dikagetkan oleh Lupus yang mendadak terbatuk-batuk. Uhuk-uhuk-uhuk! Mukanya berubah merah, lehernya dicengkram oleh kedua tangannya.
“Pus! Pus! Kenapa kamu?” ujar Lulu panik. Lucky Luke-nya dilempar begitu saja. “Kenapa, Pus?”
Lupus tak menjawab. Masih sibuk terbatuk-batuk.
Lulu langsung menghitung sendok yang ada di meja. Wah—jangan-jangan sendoknya ketelen si Lupus. Aduh! Bukannya apa-apa. Bukannya Lulu takut Lupus pingsan, dan nggak ada orang i rumah buat menggotong ke rumah sakit. Masalahnya, di rumah sendok si mami tinggal tiga biji. Kalo sampe ketelen Lupus satu, kan jadi tinggal dikit... hihihi.
7. Lupus Belum Pulang
PENGECATAN sekolah sudah kelar seluruhnya. Tapi kekesalan di hati Lupus belum juga ilang. Terutama sama si Lulu yang usilnya minta ampun. Masa orang keselek dibilang nelen sendok. Belum lagi peringatan keras dari kepsek soal permen karet. Belum lagi soal si mami yang sibu terus akhir-akhir ini. Sampai negor Lupus nggak sempat. Beberapa hari terakhir ini, Lupus jarang bisa cerita-cerita ke mami seperti biasanya.
Sebetulnya rasa kekesalan Lupus ya karena ulah maminya itu. Yang belakangan ini kelewat sibuk. Padahal Lupus lagi libur panjang. Kalo Lupus bangun jam delapan, si mami udah berangkat kerja. Pas Lupus pulang mengecat sore harinya, si mami belum pulang juga. paling-paling pulang agak lewat jam delapan malam. Itu juga langsung tidur. Uh! Denger-denger mami si Lupus emang baru dapet tender dari perusahaan gede. Pesanan kateringnya seabrek-abrek. Dan terpaksa harus join kerja sama kerabat-kerabat mami yang lain.
Pokoknya sok sibuk banget deh!
Emang sih, kemarin ada pembantu yang masak. Tapi Lupus tetap nggak suka. Masa punya mami pinter masak, harus makan masakan orang? Si Lulu sih enak, dengan ada pembantu baru, jadi punya tema ngegosip!
Maka kompensasinya, Lupus di liburan ini sering ngumpul bareng sama teman-temannya. Si Boim, Gusur, Anto, Fifi, Meta, Ita, Nyit-nyit, Gito, Aji. Mereka malah merencanakan pergi ke Bandung untuk mengisi liburan. Kebetulan uang dari hasil mengecat masih utuh. Mereka bisa gunakan untuk ongkos dan jajan. Emang enak mempergunakan uang dari hasil jerih-payah sendiri. Seperti yang sering Lupus bilang, “Dari pada banyak duit tapi duit orang tua, mendingan nggak punya duit tapi duit sendiri...hihihi.”
Contohnya si Boim itu.
“Kalo jadi, nginepnya biar di rumah nenek saya aja di Suryalaya,” ujar Meta. “Sip deh. Nggak jauh dari kota. Bisa ngeceng-ngeceng!”
“Ah, kalo mau ngeceng sih di Jakarta aja!” bantah Anto.
“Hu, nggak seru. Bosen, siapa yang mau ikut?”
Akhirnya hanya ada enam makhluk yang bersedia. Meta, Fifi, Anto, Lupus, Boim dan Gusur. Yang lain pada punya acara masing-masing. Mereka sepakat berangkat besok pagi naik mobil Anto yang butut.
***
Keesokan paginya, subuh-subuh Lupus sudah bangun. Bergegas mandi dan sikat gigi. Subuhnya Lupus kalo libur itu sekitar jam sembilan. Otomatis si mami sudah berangkat. Lupus pun buru-buru mengemasi pakaian. Takut ketinggalan. Saking buru-nya, dia nggak sempat sarapan. Tapi berhubung perut lapar, Lupus membawa bekal buat di jalan. Kotak tempat kue dan termos si Lulu, disamber buat membawa bekal. Sendoknya secara buru-buru diambil dari rak piring.
Setelah beres, dia celingukan nyari si Lulu untuk pamit. Uh—ke mana sih tu anak? Pasti ikut si Bibik ke pasar! Lupus pun tak mau ambil pusing. Langsung cabut ke rumah Anto. Betul juga, sampai rumah Auto, anak-anak udah pada ngumpul. Udah pada kesel nungguin Lupus.
"Begini, Pus. Ternyata mobil yang bisa dibawa cuma pick up ini. Ini juga boleh minjem dari teman. Kita udah sepakat, saya yang nyupir beserta Meta dan Fifi di depan. Sedang yang cowok-cowok, kamu, Boim, dan Gusur di bak belakang. Bagaimana? Setuju?"
"Ke Bandung di bak?" Lupus melotot.
”Kalo nggak setuju, nggak ikut juga boleh."
Dengan dongkol, Lupus terpaksa ikutan naik ke bak. Langsung disambut mesra oleh Boim dan Gusur yang dari tadi udah stand-by di bak.
***
Selama perjalanan ke Bandung, untuk ngilangin kesel dan panasnya sengatan matahari. Lupus, Boim, dan Gusur cerita-cerita. Anak-anak itu nampak begitu sengsara di bak. Di setiap lampu merah, mereka bertiga diserbu penggemar berupa tukang-tukang rokok, koran, tahu goreng, dan minuman. Rata-rata dari para tukang jualan itu pada asyik nontonin anak tiga yang jongkok dengan merananya di bak. Mereka pada heran. Iha, kok ada kuda nil naik mobil... hihihi.
Gusur yang merasa tersindir, jadi keki berat dikecengin sama para tukang jualan begitu. Eh, soalnya Gusur dan kuda nil ini emang ada ceritanya. Mau denger? Gini. Gusur itu sebetulnya pernah ikut program pertukaran pelajar antara Indonesia dan Afrika. Waktu itu, memang yang diutamakan adalah pelajar—pelajar dari anak bahasa. Karena mungkin saling mengetahui bahasa antara negara itu dirasakan perlu. Maka, entah kenapa, Indonesia yang diminta terlebih dahulu mengirimkan calonnya, memilih Gusur untuk dikirim. Karena tu anak memang selalu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kelewat benar, malah. Wah – si Gusur tentu hepi berat. Sejingkrakan nggak keruan. Engkongnya, yang juga merasa surprais setengah mati, bikin selamatan tujuh hari tujuh malam. Seluruh tetangga kanan kiri atas bawah diundang. Nggak lupa, ada juga layar tancapnya. Film India kesukaan Gusur.
Dan pas hari ‘H’-nya tiba, Gusur pun dikirim ke Afrika. Tak lupa orang sekampungnya ada tiga bis turut mengantar ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Secara serentak mereka menangis menggerung-gerung melepas kepergian Gusur. Walhasil, Bandara Soekarno-Hatta jadi banjir karena tangisan orang-orang sekampung Gusur.
Beberapa hari kemudian, pihak pemerintah Afrika pun mengirimkan calonnya ke Indonesia. Tetapi begitu terkejutnya pihak Indonesia setelah mengetahui bahwa yang dikirim pemerintah Afrika adalah seekor badak Afrika. Indonesia pun langsung mengirimkan kawat protes ke Afrika. Kenapa badak yang dikirim? Dan apa jawaban mereka?
“Lho – bukankah kalian sendiri yang terlebih dahulu mengirimkan seekor kuda nil kemari?”
Pemerintah Indonesia terperanjat.
Hahaha! Ternyata si Gusur yang dikirim ke Afrika, dikira kuda nil.
Hahaha!
Tentang betul tidaknya cerita itu, cuma Lupus yang tau. Soalnya emang anak gokil itu yang cerita. Dia sendiri nggak peduli waktu Gusur ngamuk-ngamuk protes. Lupus malah melanjutkan ceritanya, “Dan, saudara-saudara, ternyata pihak Afrika terkesan sekali dengan ‘kuda nil’ asal Indonesia itu. Karena setelah ditaruh di taman margasatwa, ternyata perkembang-biakannya pesat sekali. Hihihi...”
Gususr makin ngamuk.
Makanya dia trauma kalau dikatai kuda nil.
***
Sampai Puncak, Boim hampir saru sama ban serep, saking itemnya. Soalnya tu anak dasarnya memang udah item. Tambahan kejemur matahari siang, maka lengkaplah sudah. Sedang Gusur beberapa kali cemas, lantaran Meta sering usul, gimana kalau untuk ngurang-ngurangin beban, si Gusur kita tukerin jagung bakar aja?
Soalnya, pick-up pinjaman ini memang nggak begitu canggih kondisinya. Jalannya suka batuk-batuk. Apalagi pas tanjakan di Puncak, Gusur, Boim dan Lupus acap kali harus membantu mendorong, meski mereka pada enggan turun ke jalan. Jadi mendorongnya sambil tetap berada di atas bak... hihihihi, sama aja boong, atuh!
Fifi, Meta, dan Anto tenang-tenang aja duduk di jok depan. Sedang Lupus di bak belakang mulai enggak betak. Dia berteriak ke Fifi yang duduk dekat jendela.
“Fi! Gantian dong duduknya!”
Fifi Cuma mencibir.
“Atau saya ikutan di situ ya, berempat. Banyak angin nih!”
“Jangan, Pus. Nanti ditangkep polisi,” tolak Anto.
“Alaaah, kalau ada polisi, nanti saya ngumpet deh di kolong. Atau, saya nyamar jadi boneka Garfield!” ujar Lupus mengiba-ngiba.
Anto tetap menolak
Walhasil, Lupus tetap berada di belakang bersama Boim dan Gusur. Iseng-iseng daripada sedih, Lupus pun ngasih tebakan ke Boim, “Im, apa bedanya kutu sama Boim?”
“Ya, jelas dong,” tukas Boim. “Boim ganteng, kutu jelek.”
“Salah! Kalau Boim bisa mati kutu, sedang kutu nggak sudi mati Boim. Hihihi...”
***
Sampai rumah nenek Meta di Suralaya anak-anak pada berlompatan-lompatan turun. Ribut rebutan kamar tidur. Nenek Meta, yang biar tua tapi masih manis, menyambut kedatangan anak-anak dengan riang. Cium pipi kanan dan kiri, lalu sibuk nanyain oleh-oleh.
Belum beberapa menit, terdengar Gusur ribut-ribut.
“Tidak bisa, tidak bisa!” teriaknya nyaring.
Meta yang merasa bertanggung jawab membawa kuda nil itu, langsung menenangkan, “Ada apa, sur? Apanya yang nggak bisa?”
“Saya protes keras! Tidak bisa!!”
Meta makin bingung. Menoleh ke arah Gusur dan Fifi secara bergantian. Ada apa dengan dua anak ini?
“Itu, Met,” ujar Fifi sewot, “masa Gusur protes kamarnya dipisahkan dengan kamar kita. Cowok kan tidur di kamar depan, sedang kita tidur di kamar dalam sama nenek. Iya kan, Met?”
“Iya dong. Masa Gusur mau tidur sama kita?” tegas Meta.
“Lha? Jadi, apa artinya persatuan yang kita galang selama ini? Apa artinya kebersamaan yang kita bina waktu mengecat sekolah? Kenapa kita harus dipisah-pisahkan? Ini kan merusak persatuan!” ujar Gusur berapi-api.
Anak-anak cowok pada cekakakan. Tinggal Meta sama Fifi yang marah-marah.
“Dasar anak gokil!”
Sedang Lupus langsung mendorong sepeda batang yang tersandar di samping rumah. Dia emang paling hobi jalan-jalan pake sepeda. Makanya, tanpa setahu anak-anak dia menyelinap keluar, dan mengayuh sepedanya cepat-cepat. Keluar masuk kompleks perumahan yang serba mungil-mungil itu. Wah, wah, pemandangannya bagus-bagus juga. beberapa kali Lupus ketemu cewek manis lagi pulang sekolah. Beberapa ada yang main sepatu roda di taman.
Hari memang menjelang petang.
“Wooiiii... awas!!!” tiba-tiba teriakan nyaring bikin Lupus kaget setengah mati. Belum sempat menoleh, mendadak dua cewek bermotor bebek menyerempet sepeda Lupus hingga oleng dan nyaris nyemplung ke got. Untung saja Lupus sempat melompat. Hap!
“Aduuuuh, sori, ya. Kita nggak sengaja. Kita baru belajar naik motor....,” ucap kedua gadis itu buru-buru.
Lupus hampir ngomel-ngomel, kalau nggak nahan diri geliat dua cewek yang ternyata manis-manis. Eh, enggak. Cuma satu yang manis. Yang satunya ganteng. Abis mukannya kaya Sobarudin begitu sih!
Kedua cewek itu menolong mengangkatkan sepeda Lupus, dan terus berkicau minta maaf.
Buntut-buntutnya, mereka malah kenalan.
“Oo..., jadi yang gant.. ini namanya Yanti?” ujar Lupus.
“Gant..., apa? Ganteng?” tanya si Yanti.
“Bukan. Ganjen... Hahahaha...”
Yanti ikutan ketawa. Hahahaha...
“Terus yang satu lagi Ida?”
Ia manggut. Nah – yang ini rada panteslah jadi cewek. Nggak ada bulu kakinya. Tapi yang lebih penting, kedua gadis ini ternyata termasuk manusia gokil juga. makanya Lupus langsung akrab. Buntut-buntutnya Lupus malah ikutan belajar motor. Tu anak memang minus banget soal naik motor. Tapi kali ini nekat membonceng dua makhluk manis berkeliling kompleks. Sampe nekat ke jalan raya segala. Walhasil, mereka sempat tujuh kali ngrusruk ke semak-semak.
Pulang-pulang, Lupus udah dekil. Yanti dan Ida ikutan nganterin.
Boim yang paling getol geliat cewek manis, langsung aja ribut.
“Di mana kamu nemu mereka, Pus?” bisik Boim.
“Oh, yang manis ini namanya Ida,” ujar Lupus memperkenalkan. “ketemunya sih wajar-wajar aja, waktu lagi ngeceng di jalan. Dan yang satunya ini..., yang rada-rada ganjen ini, namanya Yanti...”
Yanti langsung cengar-cengir, dan menyahut, “Slamat sore...”
“Yanti ini,” ujar Lupus sambil memegang bahu Yanti,” nemunya nggak sengaja. Waktu saya beli kuaci di warung, terus nggak ada kembaliannya, maka sama si penjual dikasih Yanti yang manis ini... hihihi.”
Yanti langsung mencak-mencak.
Besoknya, mereka pun janjian mau belajar motor lagi.
“Tapi Yanti jangan diajak, ya?” ujar Lupus ke Ida. Ida cekakakan, sedang Yanti misuh-misuh.
***
Besoknya, Boim ikutan belajar motor sama Lupus, Ida, dan Yanti. Sedang anak-anak yang lain sibuk punya acara sendiri, berburu jins di Tanin. Padahal, kata Boim, kalau mau berburu jins, nggak usah susah-susah ke Bandung. Di loteng rumah Boim juga banyak jins. Tapi yang ini rada-rada serem. Sejenis kuntilanak.... gitu!
Yanti dan Ida masing-masing membawa motor bebek. Boim jelas memilih boncengan sama Ida. Curang ida. Sedang Lupus cukup pasrah menggonceng Yanti. Wo – tu anak emang agresip banget. Belum juga motornya lepas landas, Lupus sudah didekap erat-erat sampe sesak napas.
Sedang Ida, yang malu-malu memeluk Boim, jadi ketinggalan. Belum sempat duduk di jok, si Boim udah tancap gas. Walhasil Ida sukses mendarat di aspal
***
Tanpa terasa duit mereka hampir habis. Itu berarti mereka harus buru-buru balik lagi ke Jakarta. Dan kamu tau, ternyata kepergian Lupus ke Bandung selama beberapa hari tanpa bilang-bilang itu, bikin keluarga Lupus panik. Si Mami ternyata sampai beberapa hari nggak tidur. Soalnya nggak ngantuk, hihihi... Eh, tapi bener lho, mami sampai sempat bikin iklan segala di koran. Lulu yang selama libur ini dapat tugas jaga rumah, jadi tumpahan kekesalan Mami, “Masa kamu sampai nggak tau ke mana Lupus pergi?”
“Biasanya sih tiap pagi dia mengecat sekolahan. Tapi Lulu cari ke sekolahan, ternyata nggak ada. Malah sekolahnya sudah rapi banget. Trus Lulu mau cari ke temen-temennya, nggak tau rumahnya. Paling juga rumah Boim sama Gusur yang Lulu pernah datengin. Tapi itu juga lupa, abis sepuluh kali keluar masuk gang!”
“Apa dia belakangan ini suka gelisah?”
“Iya, Bu. Gelisah. Geli-geli basah. Dia suka nanyain Ibu terus...”
Si Mami jadi tercenung. Ah, apa dia terlalu sibuk belakangan ini sehingga melupakan anak-anak?
Lupus sendiri, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, sempat mikir. Sempat ngerasa nggak enak sama Mami. Sama Lulu. Gimana kalau mereka bingung nyariin? Ya, harusnya kan paling tidak dia bilang dulu kalau mau pergi. Apalagi ini, sampai beberapa hari nggak pulang-pulang. Tadinya, ini untuk sikap protes Lupus sama Mami yang kelewat sibuk. Tapi lama-lama Lupus mikir, apa caranya betul? Mami, jelas sibuk banting tulang untuk nyari uang. Kenapa harus diprotes dengan cara begini?
Kada, Lupus merasa, kitanya sendiri yang terlalu berpikiran sempit dalam hal ini. Harusnya kita punya sikap. Tentang anak-anak yang nggak betah di rumah, apalagi yang lantas terlibat hal-hal terlarang, tidak melulu orang tua yang harus disalahkan. Ya, kenapa harus mereka yang disalahkan? Kita kan udah gede. Bukankah yang paling punya tanggung jawab besar atas diri kita adalah kita sendiri? Bukankah yang bisa mengubah sikap kita adalah kita sendiri?
Lupus jadi makin merasa bersalah. Untung aja dia tak terlalu jauh melangkah.
Dan satu yang ingin dia lakukan begitu sampai rumah, adalah memeluk Mami dan Lulu...
***
“Ibu, itu Lupus datang!!!” teriak Lulu ketika melihat Lupus turun dari becak, berjalan memasuki halaman rumah.
“Lupus!!” si Mami langsung meloncat dari kursinya.
“ibuu!!” Lupus pun berlari meninggalkan ranselnya.
Mereka berpelukan. Mirip film india.
“Aduh, Lupus, Ibu sampai cemas. Ke mana aja sih kamu? Tapi, syukurlah, akhirnya kamu pulang juga. kamu baca iklan di koran, ya? Tentang berita kehilangan?”
Iklan? Jadi Mami sampai pasang iklan di koran? Ah..
Maminya bergegas mengambil koran yang ia simpan di balik bantal, lalu menunjukkannya ke Lupus, “Bacalah. Aduh, Ibu sih nggak keberatan kamu mau pergi ke mana aja kek, nginep berapa hari kek, yang penting kamu jangan bawa-bawa sendok Ibu dooong! Ibu jadi kebingungan nyariinnya. Nah, sekarang, mana sendok Ibu yang kamu bawa? Itu lho, yang ada ukiran di ujungnya. Juga Lulu nanyain termossama kotak kuenya...”
Lupus bengong. Hah? Jadi...
Lupus pun buru-buru membaca iklan kecil yang ada di koran : ‘Berita kehilangan. Telah hilang sebuah sendok mungil yang ada ukiran di ujungnya. Sendok itu kemungkinan dibawa oleh seorang anak umur 16 tahun, bernama Lupus. Barang siapa yang menemukan sendok itu, harap dikirim ke alamat di bawah ini. Sedang anaknya, terserah mau diapain.’
Lupus makin bengong.
Lalu dia pun dengan menjerit-jerit berlarian keluar rumah.
Si mami kaget. Buru-buru mengejar, “Lupus! Lupus! Kembalilah kau...”
Tapi Lupus terus berlari. Terpaksa Lulu ikutan membantu mengejar. Lalu tak ketinggalan tukang becak yang belum dibayar Lupus, ikut-ikutan mengejar.
Akhirnya orang sekampung pun turut membantu mengejar... hihihi. Ada-ada saja...
8. Janji-janji
Lupus kesal. Kesal sama pembantunya Boim yang centil itu. Gara-garanya waktu Lupus mengetuk-ngetuk pintu rumah Boim, tu pembantu langsung nongol dengan senyumnya yang genit sambil merem melek, “Eeee... oa-eo. Ada tamu. Nyari si Boim, ya? Wah – lagi nggak ada tuh. Ada pesen? Ada pesen? Gado-gado? Es teler? Ketoprak? Pake cabe nggak?” sambut pembantu Boim centil. Dalam hal centil-menyentil, doi emang nggak kalam sama tuannya. Boim. Keturunan ‘kali.
Lupus jelas sebel. Baru datang langsung dituduh mau nyari Boim. Padahal kan belum tentu. Siapa tau kali ini dia mau ketemu abahnya Boim, atau nyari enyaknya Boim. Tanya-tanya dulu kek, jangan asal nuduh aja! Umpat Lupus panjang- pendek.
“Emang sebenernya tadi kamu mau ketemu siapa, Pus?” tanya Lulu yang kebetulan sore itu ikut di boncengan sepeda balap Lupus. Mereka baru beberapa meter berlalu dari rumah Boim.
“Yaaa, emang sih kebetulan kali ini saya lagi nyariin Boim,” ujar Lupus cepat. “tapi itu kan kebetulan saja tuduhannya tepat. Coba kalau enggak? Makanya jangan asal nuduh aja...”
Tapi sebetulnya kekesalan Lupus bukan Cuma disebabkan oleh pembantunya Boim aja. Tapi juga karena sekolah Lupus lagi mengalami masa libur yang lumayan panjang. Nggak tau libur apaan. Yang jelas cukup membuat Lupus kangen sama Ibu kantin sekolah. Sebetulnya sama teman-teman dekatnya, Lupus juga kangen. Tapi Lupus malu mengakui. Takut ternyata orang-orang yang dia kangeni malah enggak kangen. Tapi apa daya, mereka sendiri waktu mau libur bikin perjanjian, “Pokoknya selama liburan ini kita nggak usah ketemu-ketemu dulu deh! Bosen. Belajar pisah kecil-kecilan dulu. Soalnya toh kita nggak bakal terus sama-sama sampai tua. Lagi pula biar pas masuk sekolah ada geregetnya.”
Itu janji yang Boim ucapkan. Yang disetujui teman-temannya. Termasuk Lupus. Tapi janji itu bagi Lupus sekarang terasa menyiksa. Soalnya di liburan ini dia bener-bener nggak ada kerjaan. Bener-bener pengena main ke rumah Boim atau Gusur atau Gito atau Anto. Selama ini setiap sore kerjaan Lupus Cuma ngeboncengin Lulu keliling-keliling perumahan. Atau paling banter nganterin Lulu ke rumah Suli, temannya yang manis itu. Lama-lama jelas Lupus merasa bosen. Soalnya selama perjalanan paling-paling Lulu cuma bisa ngasih tebak-tebakan aja. Itu juga tebak-tebakan yang norak. Seperti,
“Ayo, Pus... saya punya tebakan. Dari jauh kecil, pas dideketin ternyata besar. Apaan coba?”
“Ah, kuno. Salah liat.”
“Bukan. Kurangi seratus!”
“Abis apaan?”
“Ya emang semestinya begitu. Benda apa pun kalau kita lihat dari jauh akan kelihatan kecil. Sedangkan kalau dideketin, jadi keliatan gede.”
“Sialan.”
Dan Lulu ngasih tebak-tebakan begitu emang cuma mau menghibur Lupus. Supaya Lupus betah saban sore ngajakin dia jalan-jalan atau nganterin ke rumah teman-teman Lulu. Lumayan kan dapat supir gratis. Tapi seperti tadi udah dibilang, lama-lama Lupus bosen juga. kangen sama teman-temannya nggak bisa dibendung lagi. Makanya sore itu dia mengayuh sepeda balapnya ke rumah Boim. Terus terang, Lupus kangen sama itemnya. Dan ternyata Boim nggak ada. Maka yang jadi sasaran kekesalan jadi pembantunya yang centil itu.
“Kita ke mana lagi, Pus?” tanya Lulu.
Lupus yang lagi mengayuh sepedanya tak langsung menjawab.
“Atau kita ke rumah Baba aja, yuk?” ajak Lulu.
“Apaan tuh Baba? Sejenis unggas, ya?”
“Hus. Baba tuh temen saya. Dia punya adik yang manis-manis. Kita ke sana, yuk?” ajak Lulu.
Lupus langsung mau. Soalnya denger ada yang manis-manis. Dan setelah memutari beberapa kompleks perumahan, Lupus dan Lulu tiba di rumah Baba.
“Kamu aja yang getok-ngetok, Pus siapa tau yang keluar adiknya yang manis,” bujuk Lulu sambil mendorong Lupus turun dari sepedanya.
“Siapa nama adiknya?”
“Winur.”
Dengan ogah-ogahan, Lupus pun turun dari sepedanya. Langsung sibuk mengetuk-ngetuk pintu rumah Baba. Sementara Lulu menunggu di sepeda balapnya.
Tak ada yang muncul. Lupus pun sibuk mencari bel. Tapi nggak ketemu juga. buset, rumah gede begini nggak ada belnya. Yang ada malah klenengan tukang gule yang tergantung di dekat pagar. Lupus pun mulai membunyikannya.
Dan muncullah yang ditunggu-tunggu. Seorang gadis ma... eh, enggak ding. Enggak manis. Jangan-jangan ini pembantunya.
“Cari siapa, Den?”
Nah, bener juga. tapi sama pembantu yang satu ini Lupus langsung simpati. Soalnya nggak asal main tuduh aja.
“Ng.. anu, Mbak. Winur sama Baba ada?”
“Ada.”
“Yaaa, kok ada. Salah alamat ‘kali. Maaf deh, Mbak,” Lupus pun langsung ngeloyor pergi. Si mbak itu Cuma bisa bengong aja.
“Lho... Den. Jadi nggak namu di sini? Nanti saya panggilkan Baba. Servisnya memuaskan lho, Den. Ada minuman, makanan kecil, atau... mau pake pijit-pijit dikit juga bisa.”
Duile, ternyata nggak kalah centilnya sama pembantunya Boim. Lupus pun terpaksa mau. Lulu yang melihat dari luar, ikutan masuk. Sebetulnya emang dia yang ada keperluan. Jadi Lupus terpaksa duduk-duduk saja menemani. Sekadar ngilangin rasa kangen sama temen-temennya.
Baba pun muncul. Langsung berteriak senang menyambut Lulu. Setelah diperkenalkan kepada Lupus, dan berbasa basi sebentar, Lulu dan Baba langsung terlibat pembicaraan hangat. Biasa, ngegosip. Lupus hanya diam-diam saja sambil memandangi akuarium yang menghias ruang tamu. Lama-kelamaan Lupus jadi ngantuk. Kepalanya mulai berayun-ayun ke sana kemari. Dan tertidurlah ia.
Dalam tidur, Lupus bermimpi. Mimpi dijemput teman-temannya untuk jalan-jalan ke Bogor. Kalau lagi libur, atau hari minggu. Lupus beserta sobat-sobatnya sering main ke Bogor. Ke rumah temen Lupus yang tinggal di Bogor. Temen Lupus itu cewek. Kenalannya waktu lagi main-main di Kebun Raya. Kebetulan sekali Lupus beserta teman-temannya diajak mampir. Dikenalkan sama keluarganya yang ternyata ramah-ramah. Udah, dasar anak-anak nggak tau basa-basi, langsung aja pada nginep. Kebetulan sekali tu rumah tempat ngumpulnya cewek-cewek kece se-Bogor. Makanya mereka semua pada rajin datang berkunjung. Apalagi si Boim. Saban ke sana, kalau nggak memperagakan keahlian sulapnya, dia ngelawak. Biar tu cewek-cewek pada terpesona. Biar pada ketawa. Atau Gusur, sering dengan senang hati membacakan puisinya di depan keluarga Bogor itu. Kalau Lupus atau Anto paling-paling begitu datang, langsung sibuk mengintip-ngintip ke kolond dipan, siapa tau tersembunyi duren-duren yang belum terkupas. Bukan apa-apa. Anto paling senang makan kulit duren. Sedang Lupus ngalah, makan buahnya.
Dan kedatangan Lupus dan teman-temannya itu, tentu saja membuat defisit anggaran belanja orang tua cewek itu. Lantaran nafsu makan anak-anak ini memang pada gila-gilaan semua.
Saat itu, dalam mimpinya, Lupus diajak ke sana lagi. Tentu saja Lupus mau. Maka dengan menumpang mobil butut si Boim, mereka pergi ke Bogor. Lupus, Boim dan Anto duduk di depan. Sedang Gusur, karena nggak muat, cukup puas duduk sendirian di bak belakang. Tadinya Gusur protes. Tapi karena diancam nggak bakal diajak, Gusur terpaksa nurut. Dan pada akhirnya, Gusur menemukan kenikmatan tersendiri duduk di bak belakang. Sejuk, katanya, banyak angin bertiup. Tapi meski sudah dipromosikan begitu, tetap saja tak ada yang mau tukeran tempat sama Gusur.
Dan kalau bawa Gusur di bak belakang, mereka nggak berani lewat jalan tol. Soalnya suka ditegur petugas penjaga, “Hei, kalian nggak tau peraturan, ya? Kalau bawa kambing bandot, harap diikat!”
Makanya, mereka lebih suka lewat jalan biasa aja.
Selama perjalanan, seperti biasa, mereka tak henti-hentinya bercanda. Ketawa-ketawa sambil sesekali main ledek-ledekan. Lupus benar-benar merasa riang. Benar-benar merasa liburan ini tak sia-sia.
***
Lupus terbangun ketika merasa kepalanya terantuk benda keras. Buru-buru ia mengucek matanya dan duduk tegak kembali. Buset, ternyata si Lulu masih belum berhenti ngegosip juga. sementara di sebelah Baba, telah duduk satu makhluk manis lagi. Wah, mungkin ini yang dipromosikan si Lulu. Soalnya mukannya manis juga.
Gadis itu memandang Lupus sambil tersenyum-senyum kecil.
“udahan pingsannya?” tannyannya pada Lupus.
Lupus cuma nyengir.
“Abis narik becak ya? Kok ngantuk terus?”
Lupus keki. Buru-buru dia mengajak Lulu pulang. Tapi Lulu ogah. “Kamu duluan aja deh. Masih ada beberapa bab pergosipan yang belum dibahas.”
Dan Lulu bener-bener langsung meneruskan kesibukannya bergosip-ria. Terpaksalah Lupus pulang duluan.
***
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, sekitar jam tujuh, Lupus udah mandi. Dan bersiap-siap mau ke Bogor. Dia nggak bisa membendung rasa rindu lagi. Dan untuk melupakan itu, Lupus merasa perlu pergi ke Bogor. Siapa tau di sana, dengan ketemu cewek-cewek kece, bisa mengobati rasa rindu.
Sebetulnya, menurut perjanjian, salah seorang dari mereka nggak ada yang boleh pergi ke Bogor sendirian tanpa mengajak teman-teman yang lain. Kalau sampai ketauan ada yang datang ke Bogor sendirian, maka ia harus mentraktir teman-temannya. Tapi, ah... biarin aja. Mereka nggak bakal tau ini.
“Mau ke mana Pus?” tanya ibunya ketika melihat Lupus membawa tasnya.
“ke Bogor, bu. Mungkin nginep sehari.”
“lho kok pake nginep sehari segala?”
“kan liburan, bu. Nggak apa-apa deh.”
“Iya, maksud Ibu, kok Cuma sehari. Nggak seminggu aja sekalian. Lumayan kan ngirit-ngirit uang belanja... hihihi,” celetuk Lulu yang lagi asyik makan roti.
Lulu langsung kena jitak.
Di perjalanan, Lupus memilih duduk dekat jendela. Biar enak menghirup udara di luar. Soalnya, tau sendiri, bis-bis antarkota selalu sarat dengan penumpang. Penumpang nggak Cuma manusia aja. Sejenis bebek-bebekan kerap ikut di tengah desakan penumpang. Dan dasar bebek, dengan cueknya sepanjang perjalanan mereka ngegosip. Mengganggu ketenteraman orang-orang yang mau tidur.
Yah, terus terang aja. Sebenernya Lupus mau tegas dan berjiwa besar menghadapi semuannya. Dia mau seperti teman-temannya yang lain, yang bisa nggak bergantung sama orang lain. Yang bisa pisah sama orang-orang yang pernah deket dengan dia. Tapi kenyataannya? Lupus nggak bisa.
Lupus nggak bisa maksain diri untuk tidak norak pada saat seperti sekarang ini. Lupus merasa sepi. Merasa sendiri. Ada yang bilang, kita memang sah untuk berbuat norak selama kita nggak mampu mengatasi kenorakan yang kita buat. Selama kita nggak menyadarinya. Mungkin ada benernya. Kadang kenorakan memang diperlukan seperti kita memerlukan rasa cengeng, romantis, sentimentil...
Tanpa itu, mungkin, sekali lagi mungkin, manusia akan jadi kurang sempurna. Sepertinya, tanpa hati. Dan ada lho orang-orang yang hidup tanpa hati di dunia ini. Banyak malah. Nanti kamu akan mengerti dan geliat sendiri orang-orang yang hidup tanpa hati...
***
Perasaan Lupus deg-degan juga, ketika becak yang membawanya hampir sampai di tujuan. Ada rasa berdosa mengkhianati janji, ada rasa nggak enak kalau ditanya,”Kok dateng sendirian? Yang lainnya mana?”
Tapi akhirnya dengan sedikit tersipu-sipu malu, Lupus muncul juga di depan rumah cewek Bogor itu. Kebetulan sekali salah seorang teman tu cewek lagi duduk-duduk di depan, sehingga Lupus nggak usah terlalu lama bermalu-malu.
“Sisi ada?” tanya Lupus pada cewek itu.
“Oh, ada. Masuk aja. Mereka lagi pada ngobrol-ngobrol tuh di dalam.”
Lupus pun langsung masuk ke dalam. Melewati ruang tamu yang lumayan panjang. Lupus jadi inget Boim lagi. Kata Boim, saking panjangnya nih rumah, kalau kamu masuk dari pintu depan pada pagi hari, maka pas magrib kamu baru nyampe ke pintu belakang. Hihihi, lucu juga tu anak.
“Lho, Lupus. Sama siapa?” sapaan riang mengagetkan Lupus. Soalnya sapaan itu bukan datang dari sisi, tapi Boim, si playboy. Lho, kok dia ada di sini?” dan... lho, kok itu ada si Anto, Gusur, Aji...
“Huahahahaha... lengkaplah sudah formasi kita. Selamat datang, rekan Lupus. Ternyata dalam hal melanggar janji pun, kita masih tetap kompak!” pekik Gusur gembira sambil memeluk Lupus. Lho, apa-apaan nih.
“Kalian curang! Kok nggak ngajak-ngajak saya?” ujar Lupus begitu sadar.
“Lho, kita pergi sendiri-sendiri kok. Pertama yang datang Boim, lalu berturut-turut Anto, Gusur, Aji... dan sekarang kamu. Hihihi...,” jelas Anto sambil cekikikan.
“O ya?”
Tawa mereka pun meledak. Kalau sudah begini, siapa yang harus mentraktir?
Tak ada. Tak ada yang harus mentraktir. Yang ada hanya kesadaran bahwa janji-janji pun tak mampu menghalangi keinginan mereka untuk selalu tetap bertemu. Selalu tetap tertawa bersama. Dalam rindu, Lupus tak sendiri...
9. Boim, Sang Pangeran
SMA MERAH PUTIH mau ngadain acara yang tujuannya bagus. Acara malam dana kesenian. Seperti tahun-tahun lalu, kelebihan duit yang didapat dari penjualan karcis yang dijual secara paksa, biasanya bakal disumbangkan ke panti-panti asuhan. Termasuk panti jompo dan panti orang jelek segala. Panti orang jelek memang cuma ada di sekolah Lupus. Anggotanya baru dua orang. Boim dan Gusur. Dan alhamdulillah, belon pernah dapat sumbangan. Lantaran para donatur berprinsip, lebih baik menyumbang kambing daripada mereka berdua. Kalo kambing dagingnya kan bisa dibikin sate. Sedangkan mereka cuma ngabis-ngabisin dana, sementara manfaatnya belon ketahuan. Paling-paling untuk mengusir roh-rol halus yang merasa kalah kharisma sama mereka.
Karena acara malam dana kesenian positif diadakan, minggu-minggu belakangan ini sekolah pun jadi sibuk. Amo yang punya- hobi sok sibuk, mulai mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain.
Pura-pura ngasih pengumuman. Padahal tujuannya jelas, mejeng!
Tapi nggak cuma Anto yang sok sibuk, semua juga mendadak sibuk selain kegiatan belajar yang nggak boleh berhenti, mereka masing-masing punya niat nyumbang acara. Termasuk kelasnya Lupus yang ngadain rapat siang itu.
Boim nampak paling antusias.
"Kita bikin tarian-tarian aja, yang mana saya ikut di dalamnya. Personilnya udah saya pilih. Nyit-nyit, Meta, Ita, Utari, Svida, Poppi, Vera, dan tentunya saya sendiri. Ceritanya tentang Jaka Tarub. Saya otomatis jadi Jaka Tarub-nya, dan sisanya jadi bidadari. Bagaimana, usul yang manis, kan?"
Anak-anak kontan nggak setuju. Apalagi Nyit-nyit.
"Segala tampang nggak kece aja mau jadi Jaka Trub. Kamu ngelamar main film King Kong Lives aja belon tentu keterima, Im," Fifi Alone yang tak tersebut namanya mengumpat.
"Atau kamu tari perut sendirian aja, Fi?" ledek Boim.
Fifi mendelik sewot.
“Kalo gitu kita bikin dance aja," ujar Boim lagi. “Personilnya tetap yang tadi."
Dan untuk kesekian kalinya ide itu pun ditolak sama anak-anak. Boim jadi frustasi.
"Bagaimana kalo Boim kita suruh melawak aja?" tukas Lupus tiba-tiba. "Dia kan paling pinter ngelawak. Diem aja yang nonton juga udah pada ketawa. Disangka makhluk apaan kali yang berdiri di atas panggung. Mau dibilang landak, rada-rada mirip. Tapi yang ini lebih jelekan.”
Boim jelas ngamuk-ngamuk mendengar usul Lupus.
"Nggak bisa, emangnya saya pelawak? Wajah saya cukup kharismatik, nggak cocok jadi pelawak. Saya nggak bisa ngelucu...," protes Boim.
"Lah itu kan sudah lucu. Ada pelawak yang nggak bisa ngelucu kan sudah lucu banget," ungkap Lupus.
Boim tetap menolak.
Suasana hening sejenak.
"Bagaimana kalo saya nyulap aja? Dikit-dikit saya bisa...," ujar Boiin di tengah nada putus asa.
"Wah, jangan. Mendingan kamu ngegado-gado aja," bantah Lupus.
"Apa itu ngegado-gado?" tanya Boim bego.
"Bikin gado-gado. Ya, kamu bikin gado-gado di atas panggung. Kan orisinal tuh!"
Boim jadi keki berat.
"Saya bukan tukang gado-gado, tau!!!" jerit Boim.
"Kalo gitu mecel aja deh, Im. Bikin pecel. Lebih enakan," usul Aji.
"Jangan, bagusnya noge goreng aja. Dia lebih pantas. Engkongnya kan pensiunan tukang toge goreng," Anto mulai kasih reaksi.
Dan rapat hari itu pun berakhir tanpa keputusan, alias mereka belum pada tau paket kesenian apa yang pantas disumbangkan untuk malam dana nanti.
"Besok, usai jam pelajaran kita lanjutin lagi. Kita sudah harus ngambil keputusan. Waktu udah mepet banget. Belon latihannya," teriak Anto.
Anak-anak bubaran.
***
Di rumah Lupus mulai sibuk mengotak-atik rencananya. Sampe lupa makan siang segala. Lulu yang berkali-kali ngetok kamarnya dicuekin.
"Pus, makan, Pus. Kamu nanti sakit. Itu udah saya sisain ceker ayam satu. Sori, seadanya aja. Soalnya paha ayam dua-duanya udah dimakan saya!" teriak Lulu.
Tak ada sahutan dari kamar. Yang terdengar malah irama musik yang dikerasin.
Merasa dicuekin, Lulu lalu berusaha mengintip Lupus dari lubang angin. Dengan sekuat tenaga dia menyeret bangku untuk bisa ngeliat Lupus. Tumben tu anak tekun banget, pikir Lulu. Dari lubang angin memang dilihatnya Lupus lagi sibuk ngotak-ngatik rencananya di selembar kertas.
"Yang ngintip apa punya ide buat acara malam dana kesenian di sekolah saya?!" jerit Lupus mendadak.
Lulu kaget banget disindir begitu. Kirain nggak tau. Pelan-pelan Lulu turun dari bangku, dan berlalu dengan wajah dongkol.
***
Pada rapat keesokan harinya anak-anak kelas Lupus sudah bisa ngambil keputusan. Mereka sepakat untuk mementaskan drama tiga babak buat acara malam dana kesenian. Lupus yang dianggap pinteran ngarang, dapat tugas bikin naskah. Sedang Fifi Alone, artis kita itu, mau solo karir. Yaitu, nyanyi! Artis yang belakangan ini sering ngaku kembarannya Vina Panduwinata ini akan membawakan satu lagu Vina berjudul Surat Cinta.
Dengan gaya yang kelewat centil, suara yang mirip terompet taun baru, dan teks lagu yang berantakan, Fifi sejak pagi tadi mulai latihan sendiri.
"Hari ini kugembira
Pak Pos m'layang di udara." .
(Nah Iho, sampai di sini, Fifi bingung nerusinnya.)
Sedang Lupus sepulang sekolah langsung sibuk ngetik naskah di rumahnya. Nyari-nyari cerita yang lucu. Kadang-kadang sampai larut malam. Maminya khawatir juga ngeliat kelakuan Lupus. Takut sakit. Bukannya sayang sama Lupus, tapi biaya ke dokter kan mahal.
Sekali waktu, Boim sempet juga muncul ke kamar Lupus. Sempet kaget juga baca tulisan gede di depan kamar Lupus: "Jangan Ganggu-Lagi Semedi."
"Lebih baik jangan masuk, 1m," tegur Lulu halus ketika Boim hendak membuka pintu. "Suka ada benda-benda terbang tak dikenal kalo Lupus lagi nyari inspirasi...."
"O ya?” komentar Boim tak percaya, seraya tangannya tetap membuka pintu dan... bruk!
Sebuah bantal besar membuatnya jatuh telentang. Lulu berlalu sambil cekikikan.
Lupus berdiri di ambang pintu.
"Sori, Im, kirain si Lulu. Dari tadi anak bandel itu ngegodai saya terus. Makanya saya ancam, kalau beram masuk kamar lagi, saya lempar bantal. Dan temyata kamu yang muncul. Nah, sekarang ada apa kemari-mari?" ujar Lupus tenang.
Boim bangkit sambil mengelus kepalanya yang kejeduk lantai.
"Pus, saya mau minta tolong sama kamu. Ini penting, Pus. Demi masa depan saya."
Lupus diam.
"Saya harap, saya .bisa main di drama yang kamu bikin, Pus. Jadi apa saja, asal jangan jadi kurungan ayam. Yang penting, saya bisa nunjukin kemampuan saya di depan Nyit-nyit. Gini-gini saya juga punya kemampuan yang bisa diandalkan," Boim menyalak lagi.
“'Rencananya kamu memang dipake. Tapi sebaiknya sekarang kamu pulang aja deh. Nggak usah gangguin saya," Jawab Lupus singkat. Boim pun buru-buru minta diri. Hatinya girang banget.
Pas pulang lewat ruang depan rumah Lupus. Di situ Lulu lagi asyik ngobrol sama ibunya, "Bu... dulu saya sama sekali nggak percaya sama teori Darwin. Tapi belakangan ini, setelah mengamati baik-baik wajah temennya si Lupus yang sering ke sini, saya jadi goyah juga. Jangan-jangan betul.. .. "
"Hus! Temen Lupus yang mana?"
"Itu, yang barusan masuk tadi.... Hihihi...."
Boim tercekat. Niatnya mau lewat depan urung. Sambil mengumpat-umpat dia memutar lewat pintu samping.
***
Ketika acara yang ditunggu tiba, anak-anak pun menghadapinya dengan perasaan girang. Aula dihias dengan kertas warna-warni. Pentas juga kelihatan sudah siap pakai. Karcis hampir terjual habis. Ini berarti pemasukan lumayan banyak.
Setelah beberapa guru dan Kep-Sek memberikan sambutan, acara pun dimulai. Acara pertama dari kelasnya si Gusur, seniman sableng. Yaitu ceramah sastra oleh Gusur, berjudul "Peranan Puisi dalam Emansipasi Wanita".
"Sidang pendengar yang daku hormati.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah daku melontarkan makalah berjudul 'Peranan Puisi dalam Emansipasi Wanita'. Mengingat pentingnya makalah ini, maka perkenankanlah daku meminta Anda semua mendengarkannya. Sebab bila Anda tak mau mendengarkan barang sedikit, entah apa jadinya masa depan kalian, terutama wanita. Daku tiada bisa menjamin. Adapun hasrat daku menyajikan makalah ini karena melihat akhir-akhir ini Fifi Alone makin kece saja. Gaya penampilannya itu, ah! Apalagi senyumnya, aduh! matanya yang jernih, pipinya yang cerah. O, Fifi Alone, kaulah wanita penuh emansipasi. .."
Mendenar Gusur gilanya kumat, kontan panitia menculiknya dengan paksa agar tidak lagi muncul di podium. Anak-anak pada bersorak ribut. Tu anak memang gokil banget, dalam acara resmi begini masih sempet menyuarakan isi hatinya.
Acara pun diteruskan dengan dance, band, dan vokal grup. Anak-anak II A3 yang lumayan gokil, menyumbangkan band dengan irama gambus. Irama favontnya si Gusur.
Sementara suasana makin hangat. Sampai akhirnya tiba giliran kelas Lupus menampilkan drama tiga babaknya.
Namun sampai beberapa menit kemudian, grup Lupus belum juga muncul di panggung. Lupus, Anto, dan anak-anak lain lagi uring-uringan mencari Boim yang tak kunjung datang. Padahal Boim itu pemeran utamanya. Ceritanya kan tentang pangeran yang kena kutuk, yang punya permaisuri cantik bernama Nyit-nyit. Mereka sudah latihan keras seminggu yang lalu Tapi kini, giliran muncul, Boim malah belum datang.
“Beginiah kalo ngasih kepercayaan sama orang yang nggak bisa dipercaya sama sekali!!!" maki Ita jengkel. Ita yang jadi dayang-dayang dan berdandan dari tadi sore jelas jengkel. Apalagi Meta yang biasanya paling ogah didandani.
"Iya. Lupus sih nggak nyeleksi pemain!" ujar Nyit-nyit.
"Lho, Boim kan cocok untuk peranan pangeran kena kutuk. nggak perlu make-up yang berlebihan, orang sudah percaya bahwa begitulah wajah pangeran yang kena kutuk," bela Lupus.
"Tapi sekarang buktinya? Dia tak datang!!" ungkap Auto.
Lupus cuma bisa bermain-main dengan permen karetnya.
Panitia muncul. "Gimana nih kelas II A2. Jadi nggak pentasnya? Penonton sudah gelisah tuh!"
Ita dengan kesal menghentakkan kakinya. Pertunjukan drama digagalkan.
***
Sebelum acara habis tuntas, rombongan Lupus meninggalkan aula pertunjukan. Benar-benar nggak ada harapan. Mereka pun lebih baik pulang sebelum diledekin teman-teman yang lain. Wajah mereka rata-rata kusut. Sesuatu yang telah dipersiapkan untuk kebanggaan kelas, jadi berantakan gara-gara Boim.
Ketika mereka melangkah menyeberang jalan, suara cempreng memanggil-manggil mereka dari kejauhan.
"Oiii... rekan-rekan... pada mau ke mana???
Mereka serentak menoleh dan melihat Boim dengan dandanan manis turun dari becak berlari ke arah mereka.
"Kok pada mau pulang? Kan kita belum pentas? Sori, saya datang rada telat dikit. Saya tadi ke salon dulu, dan ternyata pelayanannya lama banget. Sori ya, sebagai pangeran saya kan harus tampil canggih. Apalagi untuk mendampingi Nyit-nyit.... "
"Boim keparat!! Penunjukan gagal gara-gara kamu, tau!!!" Ita tak kuat lagi memendam emosi. Anak-anak yang lain pun memandang buas ke arah Boim
"Apa? Gagal? Wah, sia-sia dong saya ke salon.... "
“Lagian siapa yang nyuruh ke salon? Kan ada Popi yang siap merias wajahmu!!!” bentak Meta kasar. Dan saking kesalnya, Boim yang rapi jali itu rame-rame diangkat anak-anak dan diceburin ke dalam kolam di depan sekolah. Boim megap-megap nggak bisa napas. Anak-anak yang lain bersorak-sorak gembira....
10. Gang Senggol
SMA MERAH PUTIH punya seteru sama SMA Tanah Merdeka. Pasalnya, suatu hari di musim kemarau. Ketika udara cerah ceria. Tiada geledek, tiada hujan. Dan burung-burung berkicau ceria di ranting pohon-pohon. Boim yang matanya selalu jelalatan kalau ngeliat cewek, termasuk nenek-nenek, telah dituduh ngelirik salah seorang cewek SMA Tanah Merdeka.
Manis juga tu cewek. Setidaknya lebih manis dari Boim kalau dipakein rok. Namanya Lila. Rambutnya panjang. Dan bibirnya mengundang. Lila ternyata memang kembangnya SMA Tanah Merdeka. Maka, demi menyaksikan dengan mata kepala sendiri Lila dilirik seorang lelaki item bernama Boim, dan jelas nggak kece, cowok-cowok SMA T anah Merdeka yang merasa lebih berhak memiliki Lila kontan bangkit semangat perangnya. Mereka marah besar. Boim yang waktu itu lagi bersolo karir akhirnya kena gebuk beramai-ramai.
"Tenang, Sodara-sodara! Tenang! Saya Boim, orang baik-baik!" teriak Boirn mencoba Tapi... buk!
"Saya Boim!"
Plak!
"Saya... "
Duk!
"Tolong! Tolong!" akhirnya Boim ngibrit. Sempat juga mungut duit gocapanya yang terjatuh. Kasian Boim, wajahnya jadi benjut-benjut.
Peristiwa ini temu saja berbuntut panjang. Boim laporan ke anak-anak. Lupus sempat kaget juga melihat keadaan Boim. Aji sampat nggak mengenali. Ada yang mengira Boim makhluk dari planet lain. Setelah menyadari bahwa itu Boim dan tahu duduk persoalannya, anak-anak pun tak dapat membendung kemarahannya.
"Demi langit dan bumi, dan topan di lautan, sebagai sobat kita haruslah memberi sedikit atau banyak pelajaran pada mereka, Pus, orang-orang yang telah menjamahkan kepalan tangannya ke tubuh teman kita Boim. Kita hajar mereka, Pus, dengan semangat baja, dengan dada terbuka. Kita tiadalah bisa membiarkan teman kita diperlakukan seperti bukan manusia. Walaupun dia hanya seekor landak!" teriak Gusur seraya pasang kuda-kuda. Matanya dipicingkan. Perutnya yang endut kembang-kempis. Boim jadi terharu melihat kesetiakawanan Gusur, walau rada keki dengan kalimat terakhirnya.
"Lalu sekarang apa rencana kita?" tanya Lupus kemudian. Anak-anak terdiam sejenak. Pura-pura mikir. Tapi Gusur keliatan serius. Tangannya sesekali mencabuti jenggotnya yang jarang-jarang. Begitulah adatnya kalau lagi terbentur masalah serius. Suka sok tua, padahal bangkotan.
"Kita serang saja mereka. Kita punya alat-alatnya!" Gito kasih ide.
"Apa, serang?" tanya Gusur cemas.
"Ya, serang!" jawab anak-anak yang lain.
Mereka ternyata sepakat dengan gagasan Gito.
"Wah, kalau begitu saya tiada ikut saja ya? Bukan apa-apa. Habis saya sudah terlanjur benci sih kalau harus bela-belain datang ke sekolah mereka," celetuk Gusur selanjutnya.
Anak-anak kontan keki mendengar alasan Gusur. Boim yang paling sengit.
"Bilang saja kamu takut, Sur. Pake alasan segala. Yang lain gimana, setuju?"
"Kalau saya sih setuju-setuju saja. Siap berantem di mana saja. Kapan saja. Selama saya pengen. Tapi itu jelas bukan sekarang," sambut Anto.
Boirn ngamuk-ngamuk. Dia kecewa mendengar jawaban Auto. Akhirnya dia merajuk di pojokan kelas. Tampangnya diimut-imutin, tapi jadinya malah makin kacau.
Melihat keadaan jadi runyam, Lupus lalu ambil sikap.
"Teman-teman, kita memang tidak bisa tinggal diam melihat Boim dibeginikan. Kita harus punya rasa setia kawan yang tinggi. Kita harus bantu Boim. Kita harus mengadakan pembalasan. Saya benar-benar nggak rela. Masa Boim digebukin sampai babak-belur begini? Maksud saya, kenapa nggak dibunuh sekalian? kan beres.”
"Lupus!!!" Boim berteriak keras. "
" Boim!!!" Lupus pun membalas menjerit tak kalah kerasnya.
"Kalian memang bisanya cuma ngeledek saya. Nggak mau ngerasai pendeitaan saya. Saya marah nih! " rajuk Boim makin keras.
Dan ternyata Boim benar-benar mrah. Dia bangkit dari duduknya. Langsung lari keliling sekolah. Anak-anak kaget. Tapi akhirnya ikut mengejar. Termasuk Gusur yang gendut.
"Boim! Boim!" panggll anak-anak.
Tapi Boim cuek. Dia terus lari. Kejar-kejaran pun makin seru.
"Wah ada apa ini?" tanya guru matemanka yang hean melihat adegan itu. .
"Bebek saya lepas, Pak. Ayo tolong bantuin tangkep," Lupus menjawab sekenanya. Ternyata guru matematika itu punya rasa solidaritas tinggi, dia pun turut mengejar. Tapi lama-lama timbul rasa curiganya.
"Yang mana bebeknya, kok tidak kelihatan?" tanyanya pada Lupus yang lari sambil dingkring.
"Itu Iho, Pak, yang item!” jawab Lupus.
Guru matematika mengerutkan kemng. Meneliti secara seksama benda yang ditunjuk Lupus. Keputusannya?
"Ah, itu kan bukan bebek!"
"Abis apa,Pak?"
"Dalam pelajaran biologi, setahu Bapak yang seperti itu namanya menjangan."
Lupus tak dapat menahan tawanya. Sementara kejar-ejaran terus berlangsung sapai sore hari.
Sampai semuanya pada capek.
***
Besoknya mereka kumpul lagi di Gang Senggol. O ya, sebenamya sudah lama Iho SMA Merah Putih punya tempat nongkrong yang strategis. Letaknya terlindung dari pengawasan guru-guru. Makanya anak-anak paling senang ngumpul di situ. Untuk ngegosip misalnya. Atau menyusun strategi peperangan seperti sekarang ini. Tapi bisa juga dipergunakan umuk madol. Maklum SMA Merah. Putih sekelilingnya dilindungi tembok. Dan pintu gerbangnya selalu ditutup. Jadi jalan itulah sarana paling menguntungkan bagi anak-anak yang hobi bolos.
Namanya, ya itu tadi, Gang Senggol. Anak-anak memberikan julukan itu, karena setiap pejalan kaki yang melewati Gang Senggol, pundaknya pasti bersenggolan dengan tembok yang mengapitnya. Memang sempit. Lebamya cuma 25 sentimeter. Satu-satunya orang yang belum pernah meraskan enaknya Gang Senggol adalah Gusur. Doi badannya gendut banget. Jadi mana muat kalau harus lewat Gang Senggol. Tapi Lupus paling suka ngumpet di situ. Melarikan diri dari para penagih utang. Padahal, ngujubile, baunya nggak ketahanan. Pesing banget. Banyak anak-anak esde pipis di situ. Sekali waktu Anto juga pernah kepergok lagi pipis. Padahal sudah ada tulisan gede-gede, selain badak dilarang kecing di sini. Tapi Anto cuek.
Satu lagi yang membuat Gang Senggol benar-bener seru dan jorok. Ialah tulisan iseng anak-anak. Ada tulisan dari Boim berjudul: 'Pria Anti Dosa.' Atau ini, satu tulisan yang letaknya di mulut gang berbunyi: 'Fifi Alone, di sini kita pernah bersatu, dalam deru napas yang memburu. TTD: Gusur, makhluk paling kece.' - Seniman sableng ini memang sering punya kompensasi yang enggak-enggak. Di sudut lain ada tulisan yang lebih kacau lagi. Dimulai dan Anto yang menulis: ' Anto Top.' Besoknya Lupus menyusul, Lupus pun turut top. Besoknya, Gito juga ngetop. Seterusnya, Aji nggak mau ketinggalan top. Obet sama topnya. Siapa bilang Gusur tiada top.
Masih soal Gang Senggol, baik Gusur, Lupus, Boim, Anto, serta anak lainnya pemah punya kenangan khusus dengan jalan itu. Gusur selalu menjadikan Gang Senggol sebagai tumpahan ekspresi. Kalau dia lagi kangen berat sama Fifi, umpamanya, maka Gusur lari ke situ. Ngedeprok di mulut gangnya. Lalu asyik membuat puisi.
"Tempat ini memanglah sangat mendatangkan inspirasi buatku. Banyak karya masterpiece daku lahir di sini. Terutama puisi yang bersangkut-paut dengan Fifi Alone," jawabnya pada Gito yang nekat benanya kenapa Gusur hobi banget duduk di situ.
Kalau Boim memanfaatkan Gang Senggol untuk mengintai Nyit-nyit kalau lagi jajan di kantin. Gang Senggol memang tetanggaan sama kantin. Tapi dari Gang Senggol bisa melihat ke kantin, sedangkan dari kantin nggak bisa melihat Gang Senggol.
Selain itu, Boim juga sering mempergunakan Gang Senggol untuk escape dari pelajaran sulit. Lupus juga. Dan waktu ada razia rambut, anak-anak yang gondrong pun pada ngabur ke gang Senggol. Hasilnya, mereka selamet semua. T api udahannya mereka pada mual karena harus nahanin pesing beriam-jam. Boim sempat pingsan juga. Tapi segera sadar setelah disiram air comberan.
Dan sekarang, di Gang Senggol anak-anak telah memutuskan rencana besar. Mereka ingin membalaskan sakit hati Boim, dengan menyerang SMA Tanah Merdeka.
"Semua sudah jelas, kan? Jadi besok kita serbu mereka. Ingat posisi masing-masing. Boim kita jadikan umpan. Gusur dan Anto menghadang di got. Boleh juga ngumpet di tong sampah. Sementara yang lain jangan lupa tugasnya. Ingat, jangan kabur sebelum saya kabur duluan," Lupus yang diangkat jadi ketua memperingatkan. Anak-anak bengong sejenak.
"Oke, Pus, saya setuju soal kabur-kaburan itu tadi. Kita sama-sama kabur. Yang penting sakit hati Boim harus dibalas dulu. Sebab ini menyangkut nama sekolah. Saya rela Boim dijadikan bulan-bulanan. Itu kan terlalu bagus. Kenapa nggak dijadiin ember-emberan aja!” timpal Aji.
Boim bersungut-sungut kayak marmut. Tepat makan siang anak-anak bubaran.
***
Sehari kemudian, sepulang sekolah Boim sudah menunggu anak-anak di pintu gerbang. Dia tadi memang bela-belain nggak masuk sekolah.
Gusur yang datang pertama langsung mengajukan berita perutnya mules. Jadi nggak bisa ikut.
"Kamu sajalah, Im. Tiada apa-apa, kan?"
"Nggak bisa. Semua harus ikut!" bentak Boim.
Tak lama kemudian Lupus pun datang. Menyusul Gito. Aji. Robert. Anto. Tukang sapu sekolah. Yang terakhir mau pulang ke rumah.
Setelah semuanya kumpul, mereka langsung berangkat. T api sesampainy di SMA T anah Merdeka mereka pada keder Juga. Apalagl sekolahnya dijaga Satpam.
"Wah, kita mendadak pusing-pusing nih, Im," Lupus mulai ngadat.
"Kita makan bakso di situ aja yuk. Biar saya yang bayarin," Anto obral janji. Padahal tu anak, sebagaimana halnya Gusur, paling irit dalam soal jajan.
"Iyalah kita berbakso ria saja. Daku juga sudah lapar nian," Gusur langsung mendukung niat Anto.
Tinggal Boim yang sewot nggak ketulungan. Dia hampir merajuk lagi. Untung Lupus buru-buru kasih semangat. Dengan gerak tangannya. Lupus meminta anak-anak bersembunyi di posisinya masing-masing. Anto langsung nyemplung got. Gusur yang ragu-ragu akhirnya kena dorong. Air got sempet pada nyingkir juga menerima kedatangan Gusur. Mungkin lebih dekil orangnya daripada air gotnya.
"Nah, tu dia anak yang mukulin saya tempo hari," Boim berbisik ke arah Lupus di tempat persembunyiannya, di semak-semak yang aman. Tangannya menunjuk ke seseorang berpenampilan sangar yang baru keluar dari pintu gerbang.
"Itu orangnya? Wah, gede banget!"
"Ah, masa kamu takut sih, Pus. Saya aja digebukin!"
"Bukannya takut, tapi saya kan orangnya suka nggak tegaan! Tapi baiklah, kita sergap aja dia. Mudah-mudahan Tuhan melindungi kita. Tuhan... lindungilah kami anak-anak yang manis ini," Lupus langsung berdoa.
Setelah itu ia lalu memberi aba-aba menyerang. Gusur langsung pucat-pasi begitu melihat orang yang dimaksud. Tapi akhirnya dia ikut-ikutan nyerang waktu anak yang lain nyerang. Pesta pukulan terjadi. Orang yang dulu menyiksa Boim dirujak dengan pukulan. Tapi dia baru pingsan pas nyium keleknya Gusur. Anak-anak pun lalu bersoak-sorak kegirangan.
"Hidup Gusur!" . .. . .
"Kalau begitu tiada sia-sia juga aku tiada mandi selama seminggu!" komentar Gusur tersipu-sipu.
***
Boim sangat puas dengan hasil kerja rekan-rekannya. Tiga hari kemudian dia menebok celengannya umuk metraktir anak-anak.
"Ini sebagai tanda terima kasih dan saya. Lain kali saya harap Gusur yang digebukin. Sebab dia belum pernah nraktir siapa pun," Boim menyindir. Tapi Gusur cuek. Hari itu anak-anak memang sangat gembira.
Tapi sebenarnya mereka tengah terancam. Karena secara tidak disadari anak-anak SMA Tanah Merdeka puny a niat mengadakan penyerangan balasan.
Dan terjadilah. Siang itu Lupus lagi asyik menendang-nendang bola basket. Sekolah memang sudah bubaran sejak tadi, tapi di kantor masih ada beberapa guru yang sibuk mengutak-atik nilai ulangan. Di kantin, Gusur nampak asyik dengan es jeruknya. Mulutnya penuh dengan tahu goreng. Di sana ada juga Boim, Anto, Gito, dan anak-anak yang lain.
"Kalian pada nggak pulang?" tanya Bu Kantin iseng-iseng. Tangannya sibuk berkemas-kemas.
"Kita pada mau latihan basket. Memang sih udah pada ngantuk: Ini kan jamnya tidur siang," jawab Anto sambil nyeruput cendol.
"Tumben kalian latihan basket. Itu si Lupus apa bisa main basket?"
"Kalo basket emang kurang, Bu. Tapi tenis dong... "
"Bisa?"
"Payah!'"'
"Jadi yang bisa apa? Lagian si Lupus itu salah, main basket kok ditendang-tendang. Mestinya kan ditepok-tepok pake raket."
Anak-anak cuma manggut-manggut bego. Sementara di kejauhan Lupus memanggil-manggil. Kaok-kaok kayak Tarzan. Tapi anak-anak cuek, asyik dengan obrolannya.
"Oi, kalian pada mau latihan nggak sih? Kalau mau, cepat-cepat minggat deh!" jerit Lupus. Mereka rencananya memang pada mau latihan basket untuk persiapan class-meeting. Tahun kemarin kelas Lupus masuk kotak. Tiga kali bertanding, empat kali kalah. Makanya tahun ini mereka berniat mempertahankan kekalahannya. Biar pandangan orang yang menganggap kelasnya payah benar-benar jadi kenyataan.
"Kita tidak boleh mengecewakan anggapan orang. Kalau kita dicap payah, kita harus buktikan bahwa kita memang benar-benar nggak bermutu;" komentar Lupus suatu kali.
Lalu mengapa hari itu mereka sok sibuk latihan? Ah, itu cuma alasan. Sebenarnya niat utama mereka cuma ingin ngeceng. Soalnya di minggu-minggu persiapan class-meeting ini, banyak kelas lain uga pada latihan. Termasuk ceweknya. Itulah kesempatan Lupus ngeceng. Apalagi kebanyakan ceweknya memakai pakaian bebas. Full colour. Ada juga yang mengenaka baju olahraga ketat. Sehingga bodinya yang merangsang pada kelihatan. Tengok saja Fifi untuk latihan minggu ini, dia sengaja membeli baju senam yang ketat. Tapi Lupus udah bosan melihat Fifi. Lagian bodinya kayak ban radial. Nggak ketahuan mana pinggang dan mana dada. Toh Gusur bela-belain nggak pulang hanya untuk itu.
Sememara Lupus asyik ngecengin cewek dari II A3. Ada satu yang cakep. Putih. Mulus. Bulu matanya lentik. Namanya juga manis, Sobarudin. Selain Sobarudin, ada juga Sandra. Inilah yang sekarang lagi jadi inceran Lupus. Anaknya seksi. Hari itu Sandra pakai baju senam yang ketat. Rambumya dikuncir dua. Kalau jalan persis kayak pingguin. Dikit-dikit. Ini yang membuat Lupus nggak tega melepaskan pantauannya barang sejenak pun. Sementara Boim asyik sendiri dengan kecengannya si Nyit-nyit. Padahal kata Lupus Nyit-nyit biasa-biasa aja. Mukanya dikit.
Dan siang itu, di kantin, di siang yang panasnya ngujubile, Gusur telah memecahkan rekor dengan memakan 20 potong tahu dalam waktu 15 menit. Aji yang kalah taruhan, terpaksa harus membayar tahu itu. Dua makhluk kurang kece ini memang sebelumnya nekat taruhan. Gusur diminta menelan 20 potong tahu dalam waktu 15 menit. Kalau nggak habis, Gusur yang bayar. Kalau habis, otomatis Aji yang bayar. Hasilnya, sudah diceritakan di atas. Dan sekarang Aji baru nyesel tujuh turunan. Apalagi karena duit pembayar tahu sebenarnya buat ongkos pulang.
"Siapa lagi yang ingin bertaruh dengan daku?"
Gusur mengobral tantangan. Anto buru-buru mengumpulkan batu koral.
"Nih, kamu makan, Sur. Saya kasih waktu satu jam. Habis nggak habis saya yang bayar!"
Gusur mengambil batu itu, dan menyambitkannya ke arah Amo sebagai jawaban.
Anak-anak semakin larut dengan candanya. Dan mereka sama sekali tidak mengira kalau anak-anak SMA Tanah Merdeka sudah sampai di pintu gerbang. Jumlahnya nggak tanggung-tanggung. Dua puluh lima orang. Masing-masing lengkap dengan pentungan.
"Lupus, mana Lupus?" teriak si badan gede yang beberapa hari lalu digebukin. Dialah pimpinannya.
Lupus tetap cuek. Masih asyik menendang-nendang bola basket. Matanya sesekali menatap ke arah Sandra. Dia memang sama sekali belum sadar. Cuma di kantin anak-anak mulai gelisah. Gusur buru-buru menyeruput es jeruknya. Tapi sempat ditegor Bu Kantin untuk bayar waktu mau cabut begitu saja.
Boim langsung pucat. Kulitnya yang item tidak berubah sedikit pun. Tetap item. Cuma dinginnya membanjir di ujung hidung.
"Wah, bakalan gawat nih," bisik Amo.
"Ya, mana kita nggak siap, lagi," Aji menimpali.
"Lihatlah, mereka masing-masing menggenggam pentungan. Waduh, matilah daku. Fifi, cintaku abadi padamu," Gusur menjerit.
Bertepatan dengan itu, anak-anak SMA Tanah Merdeka langsung melabrak. Lupus tentu saja panik. Kepalanya sempat kena pentungan juga. Sandra menjerit. Disusul pekikan cewek lainnya. Untung Lupus keburu mengambil jurus lari cepat.
“'Kalau mau minta tanda tangan, jangan begitu dong caranya," pekik Lupus ge-er.
"Oi, jangan lari, pengecut!" teriak si gede.
Lupus tidak. mempedulikan. Dia langsung menuju ke arah anak-anak. Mereka yang tadinya sudah siap-siap mengambil langkah seribu, jadi nggak tega juga melihat Lupus dikejar-kejar kayak maling jeinuran.
"Kita lawan aja mereka," Gito yang badannya gede tiba-tiba muncul keberaniannya.
"Tapi kita cum a sedikit," Gusur sepeni ragu-ragu.
"Ah, yang penting kita udah berusaha."
Dan pertempuran yang tak seimbang terjadilah. Untungnya sebangsa Fifi, Sandra, Meta, dan beberapa cewek lainnya memberi bantuan. Tapi tak berani banyak. Gusur kena tonjok beberapa kali. Tenaga musuh memang kuat. Lupus yang dasarnya nggak bisa berantem, cuma bisa pasrah. Gito dikerubutin beberapa orang. Karatenya nyaris tanpa guna. Di lain tempat Boim udah nyungsep di comberan. Comberan lagi.
Pada saat genting sepeni itu, satu-satunya yang teringat oleh anak-anak adalah Gang Senggol. Inilah juru selamat. Lupus segera memberi aba-aba. Yang lainnya mengangguk paham. Boim langsung bangkit dari got. Mereka pun lari. Tapi musuh tak membiarkan begitu saja. Terjadilah kejar-kejaran. Gusur yang badannya bulet ketinggalan di belakang. Dia ampir mau nangis ketakutan.
Tapi untungnya musuh kehilangan jejak. Anak-anak sengaja melalui lorong-lorong rahasia. Tak lama kemudian sampailah mereka di Gang Senggol. Lupus yang badannya kecil langsung menyelinap. Disusul Boim, Anto, dan lainnya. Lha Gusur? Saking takutnya, dia maksa ikutan. Badannya yang gendut dijejelin. Tapi tentu aja nggak muat. Gusur macet di mulut Gang Senggol. Maju nggak bisa, mundur pun sama saja.
"Kawan-kawan, tolonglah daku. Jangan pergi begitu saja. Aku tak mau ditinggalkan dalam penderitaan sepeni ini. Tolonglah daku!" Gusur menjerit. Tapi anak-anak nggak peduli. Mereka cuma berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Di lain pihak, ternyata jeritan Gusur membuat musuh jadi tahu posisinya. Mereka segera mengejar. Di Gang Senggol mereka menjumpai Gusur yang terjepit tak bisa bergerak.
Wah, pada gila juga tu musuh, melihat keadaan Gusur sepeni itu, mereka langsung menyogok-nyogoknya dengan pentungan. Gusur menjerit-jerit kesakitan.
“Tolong! Tolong!" teriaknya. Anak-anak akhirnya nggak tega juga ninggalin Gusur. Tapi mau nolong percuma. Gusur berada dalam kondisi yang sulit. Apalagi musuh makin beringas. Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara ribut. Sumbernya ternyata datang dari anak-anak cewek dan beberapa guru. Rupanya waktu keadaan gawat, mereka berinisiatif melapor. Dan laporannya berhasil.
"Stop! Stop! Apa-apaan ini?" teriak guru matematika. Musuh kaget juga mendengar jeritan lantang itu. Mereka sudah bersiap-siap lari, untung segera dihadang.
"Tahan. Siapa ketua kalian? Sebaiknya kita berembuk. Damai. Masa anak sekolahan berkelahi? Memalukan!" bentak seorang guru. Musuh pada mengkeret. Mereka pun lalu digiring ke kantor. Lupus cs yang sudah terlanjur menyeberang ke SD sebelah juga dipanggil. Di kantor mereka didamaikan.
"Pokoknya Bapak tidak mau dengar kalian berkelahi lagi. Sekarang saling bersalaman!" perintah guru matematika. Mereka memang akhirnya bersalaman. Buntut-buntutnya mereka malah sepakat mengadakan pertandingan basket persahabatan. Kemelut sudah terselesaikan dengan sukses. Tapi soalnya sekarang, bagaimana caranya menolong Gusur yang kejepit tembok? Anak itu udah nangis sesenggrukan. Fifi yang biasanya benci jadi rimbul kasihan melihat keadaan Gusur.
Dan ide umuk menolong Gusur datang dari Lupus.
"Sudahlah, Sur, kamu bertahan saja selama beberapa hari di sini. Jangan makan, jangan minum. Nanti kan kurus sendiri. Nah, pada saat itulah kamu bisa keluar dari tembok!"
Anak-anak langsung setuju dengan ide Lupus.
"Lupus gila!" rengek Gusur.
loading...
In This is the Article Bangun Dong Lupus
That's all the article Bangun Dong Lupus this time, hopefully can benefit you all. okay, see you in another article posting.
You are now reading the article Bangun Dong Lupus link http://layarkaca21xxi.blogspot.com/2011/03/bangun-dong-lupus.html
0 Response to "Bangun Dong Lupus"
Post a Comment